Lincak

Rempang Ternyata Bukan Hanya Nama Pulau, Ada Juga Kapal Rempang yang Membantu Perahu Layar yang Dapat Masalah

Kapal patroli Ampok pesanan pemerintah Indonesia sedang dinaikkan ke geladak Kapal Rempang milik Belanda pada Maret 1950.

Panglima TNI Laksamana Yudo Margono akhirnya meminta maaf berkaitan dengan pernyataannya yang memerintahkan prajurit memiting masyarakat yang melakukan aksi demonstrasi. Ia mengaku, sebagai orang ndes,o sewaktu kecil sering piting-pitingan dengan temannya (republika.co.id, 19 September 2023).

Ini seperti yang saya ceritakan kemarin, saya sewaktu kecil jika berkelahi juga menggunakan teknik piting. Pithing dalam bahasa Jawa. Saat meminta maaf itu, Panglima juga menyebut bahwa sejak Orde Baru tidak ada, TNI tidak memiliki alat, maka yang menurut dia, piting lebih aman.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya: Pulau Rempang, Piting, dan Investasi yang Membuat Masyarakat Merasa Terancam

Pernyataan ini menegaskan, piting bukan merangkul untuk mengajak berbaikan. Piting yang dikaitkan dengan ketiadaan alat, bisa diartikan bahwa untuk mengalahkan lawan, jika tidak punya alat, maka piting menjadi pilihan agar tidak kalah dari lawan.

Pernyataan Panglima itu mucul ketika masyarakat Pulau Rempang melakukan aksi demonstrasi menolak proyek di sana. Masyarakat menolak diusir dari tanahnya. Harrimuddin dari Indonesia Ocean Justice Initiative dalam jumpa pers daring mengenai pertambanan Pulau Sangihe sempat menyinggung kasus Pulau rempang. Menurut dia, negara yang seharusnya mengayomi dan melayani masyarakat, justru mengusirnya dengan bertanya: mana sertifikatmu?

Oohya! Baca juga ya: Anak-Anak Muda Sangihe Bertekad Pertahankan Pulau Sangihe, tidak Boleh Ada Perusakan

Pulau Rempang adalah Pulau kecil di Batam. Namun ternyata, Rempang bukan hanya nama pulau. Repang adalah juga nama kapal uap milik Belanda yang pada tahun 1950-an dipakai untuk mengantar kapal patrol pesanan pemerintah Indonesia.

Saat itu pemerintah Indonesi amemesan 12 kapal patrol, maka berbagai galangan kapal di Belanda pun terlibat dalam pembuatan kapal-kapal berberat 142 ton, dengan panjang 33 meter dan lebar 5,5 meter. Kecepatannya bisa mencapai 12 mil per jam.

Oohya! Baca juga ya: Warga Pulau Wawonii Ajukan Diri Jadi Pihak Terkait dalam Uji Materiil UU PWP3K

Pada Maret 1950 sudah siap dua kapal, yaitu Ampok dan Alkai. Kapala-kapal itu lalu dinaikkan ke geladak kapal uap Rempang untuk diangkut ke Pelabuhan Tanjung Priok.

Pada Juli 1956, ketika kapal uap Rempangini melewati Tanjung Guardafui di Somalia, bertemu dengan dua perahu layar yang meminta pertolongan dengan mengirimkan sinyal bahaya dengan berbagai cara. Kapten kapal, JJ Verbaan, menghentikan kapal.

Oohya! Baca juga ya: Menatap Gamang Visi Maritim Indonesia 2045

Tiga orang dari perahu layar itu datang dengan kanonya. Mereka rupanya kehabisan pasokan air dan kehilangan peralatan makan. JJ Verbaan tidak menanyakan surat-surat. Verbaan lalu membantu dua perahu layar Arab itu mengatasi masalahnya. Ia berikan 200 liter air, sembilan kilogram roti, dan 50 kilogram kentang untuk setiap perahu.

Seharusnya, seperti kata Harrimuddin, negara hadir di Pulau Rempang, dan juga di pulau-pulau kecil lainnya, untuk membantu masyarakat.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
Het Parol, 17 Maret 1950
Leeuwarder Courant, 21 Juli 1956
Nieuwe Courant, 25 Maret 1950

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]

Berita Terkait

Image

Naik Haji dengan Kapal untuk Apa Bawa Serta 8 Ekor Sapi?