Egek

Menatap Gamang Visi Maritim Indonesia 2045

Suasana seminar Visi Maritim Indonesia yang diadakan Jaring Nusa, Kamis (7/9/2023). Jaring Nusa merupakan koalisi berbagai organisasi nonpemerintah. Muncul kegamangan menatap visi maritim Indonesia 2045.
Suasana seminar Visi Maritim Indonesia yang diadakan Jaring Nusa, Kamis (7/9/2023). Jaring Nusa merupakan koalisi berbagai organisasi nonpemerintah. Muncul kegamangan menatap visi maritim Indonesia 2045.

Rancangan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 sudah ditangan DPR untuk dibahas sebagai rancangan undang-undang. RPJPN 2025-2045 akan dijadika arah pembangunan mencapai Indonesia berusia 100 tahun pada 2045. Menurut Plt Direktur Kelautan dan Perikanan Kementerian PPN/Bappenas Sri Yanti JS arah kebijakan kelautan dan pesisir memiliki peran penting.

Oohya! Baca juga ya:

Laut Indonesia Banyak Ikan, Mengapa Penduduk Pesisir Relatif Lebih Miskin?

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Bappenas Sebut Indonesia Jadi Negara Nusantara pada 2045, Apa Maksudnya?

Inilah Perbedaan Kelautan, Maritim, dan Bahari

Sampai hari ini, kata Sri Yanti dalam Seminar Nasional "Memperkokoh Visi Maritim Indonesia untuk Penyelamatan Wilayah Pesisir, Laut, dan Pulau Kecil" yang diadakan oleh Jaring Nusa, di Jakarta, Kamis (7/9/2023), pengelolaan potensi laut belum dikelola secara optimal. Ada tiga hal yang menyebabkan potensi laut belum dikelola secara optimal. Pertama belum optimalnya pengelolaan WPP dan perikanan budidaya. Kedua, belum berkembangnya diversifikasi industri yang memanfaatkan sumber daya laut. Ketiga, belum optimalnya tata kelola dan regulasi pemanfaatan ruang laut.

Salah satu upaya untuk mengatasi tiga tantangan itu adalah diterbitkannya peraturan pemerintah mengenai penangkapan ikan secara terukur, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tanun 2023. Lewat peraturan ini perizinan kapal dibenahi. Untuk kapal 30 gross ton (GT) izin harus didapatkan dari pusat. Tiap-tiap kapal juga dikenai kuota penangkapan. “Jangan sampai, 10 ton ikan yang bisa ditangkap oleh satu kapal, yang dikerahkan 10 kapal,” ujar Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Agus Suherman dalam seminar yang sama.

Dengan pembatasan kuota ini, masalah biaya operasional bisa ditekan. “Satu kapal di Arafuru,mengeluarkan Rp 300-600 juta. Dalam setahun mengeluarkan Rp 600 juta sampai Rp 1,2 miliar,” kata Agus.

Amin Abdullah dari Lembaga pengembangan Sumber Daya Mitra (LPSDM) Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang merupakan anggota Jaring Nusa, menilai aturan penangka[an ikan terukur aan sulit dilaksanakan. “Belum ditentukan kuotanya saja susah menangkap ikan, kalau ditetapkan kuota mereka akan berhadapan dengan nelayan luar,” kata Amin.

CEO Ocean Solutions Indonesia (OSI) M Zulficar Mochtar memberikan beberapa masukan kritisnya terhadap tata kelola perikanan. Pertama, data dan informasi yang belum optimal. “Ada banyak versi data. Data dan informasi perikanan jauh dari memadai sehingga sulit dijadikan basis kebijakan strategis,” ujar Zulficar di seminar yang sama.

Kedua, aktor perikanan yang tidak solid. Ketiga, selain itu kesiapan infrastruktur, sistem rantai dingin, kapasitas hingga taat kelola juga belum memadai. Ia juga menjelaskan jika kebijakan yang dibuat kurang strategis. Proses konsultasi yang tidak ideal, tekanan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang kurang realistis, hingga hambatan tarif dan nontarif. Kelima, kata Zulficar, “Akses perbankan masih sulit. Berapa banyak nelayan yang bisa mengakses perbankan?” BBM subsidi juga masih bermasalah. Menurut Zulficar, 82 persen BMM subsidi tidak tepat sasaran.

Agus Suherman menyebut penangkapan ikan terukur ini memerlukan dukungan berbagai pihak. AGus mengungkapkan, yang izinnya bermigrasi ke pusat belum mencapai 3.000 kapal. Ke mana kapal-kapal lainnya? Jumlah kapal 30 yang beroperasi di Indonesia tak mencapai 7.000 kapal.

Masalah insfrastruktur juga diakui oleh Asisten Deputi Pengelolaan Ruang Laut dan Pesisir Kemenko Marinves Rasman Manafi. Energi di Indonesia Timur masih kurang. “Jalan nggak ada, listrik nggak ada,” kata Rasman di seminar yang sama.

Di pulau-pulau kecil perlu segera ada jalan dan listrik, sehingga industri pengolahan perikanan juga bisa ada di pulau-pulau kecil. Tak ada listrik berarti tak bisa menyimpan ikan dalam waktu yang lama. Akibatnya, penduduk pesisir dan pulau kecil mencari ikan hanya untuk kebutuhan sehari-hari.

Pulau-pulau kecil, menurut CEO Yayasan Econusa Bustar Maitar juga perlu dijauhkan dari pertambangan. "Masyarakat pulau kecil tergantung secara ekonomi di pulau itu. Saat tidak bisa melaut, kehidupan ekonomi mereka ada di pulau. Tambang akan mengancam kehiduoan mereka," ujar Bustar Maitar, saat membuka seminar visi maritim ini.

Priyantono Oemar