Pemberontakan Orang-Orang Cina Pesisir terhadap Kompeni dan Didukung Bupati Grobogan, Begini Menurut Catatan Cina di Kongkoan Semarang
Selama delapan hari pada 1740 Kompeni memerangi orang-orang Cina (Tionghoa) di Batavia, jumlah korban mencapai sekitar 10 ribu orang. Peristiwa tersebut membuat orang-orang Cina di seluruh Jawa ketakutan.
Orang-orang Cina di pesisir utara Jawa bereaksi dengan rencana melakukan penyerbuan terhadap loji Kompeni di Semarang. Orang-orang Cina dari Batavia yang berhasil melarikan diri ke Jawa Tengah, membantu rencana orang-orang Cina di pesisir utara ini.
Liem Thian Joe, wartawan Warna Warta pada 1920-an dan menjadi penulis tetap Sin Po pada 1938, menemukan catatan di Kongkoan Semarang. Kongkoan adalah dewan yang terdiri dari mayor, kapiten, dan letnan Cina yang ada di Semarang.
Oohya! Baca juga ya:
Berikut catatan itu, yang menggambarkan kejadian sesudah penyerbuan loji di Semarang:
Sesudah pembunuhan besar itu terjadi atas orang-orang Tionghoa di Batavia, Susuhunan Kartosuro lalu bergabung dengan orang-orang Tionghoa di Semarang untuk menyerang Compagnie [Kompeni] di Kartosuro.
Dalam pertempuran ini, pihak Susuhunan telah mengalami kekalahan hebat dan lebih dari 2.000 orang telah ditawan. Susuhunan lalu berencana mengumpulkan balatenara dan menyerang benteng Kompeni di Semarang.
Ketika itu seorang pemimpin rombongan orang Tionghoa dari Tanjung yang bernama Ouw Seng merasa tidak cocok dengan pemimpin rombongan Tionghoa yang datang dari Batavia, bernama Tay Pan. Melihat hal itu, beberapa pembesar pribumi telah mengajukan permohonan pada Sri Sunan agar memutuskan hubungan dengan orang Tionghoa. Susuhunan menyetujuinya.
Tapi ada tujuh pangeran yang tidak sepakat dengan maksud ini. Maka diam-diam mereka lari keluar dari keraton, untuk bertemu dengan pimpinan dari rombongan Tionghoa dan memberi tahu hal itu.
Oohya! Baca juga ya:
Melihat rencananya telah gagal, beberapa pembesar pribumi itu jadi merasa tidak senang. Kemudian kejadian ini diberitahykan kepada Sri Sunan, kemudian Sri Sunan memberikan perintah untuk menyuap pemimpin dari rombongan Tionghoa suapaya menganiaya tujuh pangeran itu, dengan menyatakan bahwa mereka telah berkhianat dan berniat untuk bergabung dengan Kompeni.
Pemimpin dari rombongan orang Tionghoa itu, tatkala melihat uang sogokan yang begitu besar, hatinya menjadi goyah dan bersedia akan melakukan perbuatan durhaka itu. Untung ada seorang yang masih mempunyai hati nurani, ia tidak menyetujui perbuatan murtad itu.
Lalu diam-diam ia menyembunyikan pangeran-pangeran itu. Satu di antaranya disembunyikan di Kudus.
Belakangan di kalangan orang pribumi sendiri terjadi keributan, orang-orang Tionghoa mengangkat pangeran yang disembunyikan di Kudus ini menjadi Susuhunan. Dengan rombongan besar orang Tionghoa menyerang Kartosuro dan menunjung pangeran itu menjadi raja dan bergelar Sunan Kuning.
Sementaraitu, Susuhunan Kartosuro telah meninggalkan tahtanya dan lari ke tempat lain. Tidak lama kemudian, Susuhunan Kartosuro mendapat bantuan dari Madura lalu dengan tentara besar kembali ia memaklumkan perang pada orang Tionghoa.
Dalam pertempuran ini pihak Tionghoa mendapatkan kekalahan hebat hingga jumlah mereka cuma tinggal beberapa belas orang saja. Belasan orang ini dikejar dan akhirnya tatkala mereka mencoba menyeberangi Kali Tuntang (Salatiga), mereka binasa di dalam kali itu karena memang sudah tidak punya kekuatan lagi.
Oohya! Baca juga ya:
Peristiwa ini terjadi di masa pemerintahan Pakubuwono II, yang naik tahta menggantikan Amangkurat IV. Ia naik tahta di usia 16 tahun, masih labil, sehingga ketika pad amulanya ia membenci Kompeni pada akhirnya ia memihak kepada Kompeni.
Ketika ia mulai terlihat memihak Kompeni itulah, Bupati Grobogan Martopuro menjalankan tugas untuk mengangkat Raden Mas Garendi menggantikan Pakubuwono II. Raden Mas Garendi adalah salah satu dari tujuh pangeran yang diselamatkan oleh orang-orang Cina.
Oleh karena itu, orang-orang Cina pun mendukung pengangkatan Raden Mas Garendi menjadi raja dengan nama Amangkurat V . Kemudian dikenal juga dengan nama Sunan Kuning.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Riwayat Semarang karya Liem Thian Joe (1931, cetak ulang 2004)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]