Kristenisasi Setelah Pemberontakan PKI di Madiun, Apa yang Terjadi di Desa?
Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun pada 1948 memicu perpecahan sosial hingga ke desa. Kelompok abangan dan kelompok santri saling adu pengaruh di desa, Kristenisasi yang dilakukan gereja pun mencari model-model eksperimen.
Robert R Jay menerbitkan hasil penelitiannya di Desa Tamansari di dekat Pare, Kediri pada 1956. Desa ini, pada masa penjajahan Belanda sudah diizinkan memilih kepala desanya sendiri, artinya kepala desa tidak ditunjuk oleh pemerintah.
Kepala desa pertama yang ditetapkan oleh masyarakat Tamansari adalah seorang haji dari kelompok santri. Pak Haji ini segera melakukan perubahan-perubahan dengan menerapkan syariah Islam.
Warga yang memiliki hajat mengadakan pesta keluarga, dilarang menghadirkan tayuban. Masjid pun dibangun. Belum ada persoalan sampai di sini.
Pada 1928, anak Pak Haji menggantikananya sebagai kepala desa hingga masa pemerintahan pendudukan Jepang. Masyarakat tidak puas karena kepala desa ini menjadi “wakil” dari pemerintahan pendudukan Jepang.
“Sebagai kepala desa ia bertanggung jawab kepada pihak penjajah dalam rangka mengerahkan tenaga-tenaga romusa guna mengirimkan jatah beras secara segera, dan sebagainya,” tulis Philip van Akkeren di buku Dewi Sri dan Kristus, mengutip hasil penelitian Robert R Jay.
Penduduk tidak menyukainya. Maka, setelah kemerdekaan, yang dipilih sebagai kepala desa dari kelompok abangan. Ternyata, di desa-desa lain pun terjadi hal serupa.
Berkuasanya kalangan abangan membuat kalangan santri bergejolak. Terlebih ketika muncul pemberontakan PKI di Madiun pada 1948.
Kalangan abangan bergabung di kelompok berhaluan kiri. Kalangan santri bergabung di barisan Hizbullah, pandu Muslim.
Dalam penelitiannya, Robert R jay menyebut kalangan abangan sebagai kelompok Kejawen. Sedangkan kalangan santri disebut sebagai kelompok ortodoks.
Perbedaan mereka sangat tajam dalam kehidupan sehari-hari. Jika kelompok abangan menanggap wayang setiap mengadakan pesta keluarga, kelompok santri menghindari menanggap wayang.
Kalangan gereja di Jawa Timur pun mengambil kesempatan ini. Mereka memasang gunungan dari wayang di sebelah pohon Natal yang mereka buat setiap memperingati Natal.
Gunungan adalah bagian dari pentas wayang yang dibuat berbentuk gunung, yang ditancapkan di tengah-tengah, memisahkan jejeran wayang Kurawa dan Pandawa. Dalam perayaan Natal, gunungan dilambangkan sebagai simbol kelimpahan hidup dan pangan serta keamanan.
Blencong, yaitu lampu minyak yang dijadikan alat penerang di depan layar wayang juga diambil sebagai simbol oleh gereja. Ia dimaknai sebagai terang di hari pertama penciptaan yang kemudian membuat terang dunia.