Kenapa tak Ada Sanksi untuk Korporasi Penyebab Kerusakan Ekosistem Laut Gugusan Pulau Pari?
Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) menjadi biang kerusakan lingkungan laut. PKKPRL yang dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) itu telah menyebabkan kerusakan ekosistem Pulau Pari di Kepulauan Seribu, tapi tak ada sanksi untuk korporasi.
“Berbagai perusakan ekosistem kelautan sudah berlangsung di Gugusan Pulau Pari. Mulai dari perluasan daratan Pulau Tengah dengan cara reklamasi dan menyedot pasir laut yang ada di sekitarnya, pembangunan Pulau Biawak, hingga rencana pembangunan resort apung dan dermaga yang ada di Gudus Lempeng," ujar Asmania dari Kelompok Perempuan Nelayan Pulau Pari, Ahad (26/1/2025).
Asmania menyebut, warga Pulau Pari tengah berjuang melawan perampasan tanah di Pulau Pari. "Tambak ikan warga jadi gagal panen, rumput laut tidak produktif lagi, hasil tangkapan ikan nelayan menurun, hingga kami tidak bisa lagi melintas dan mengakses laut di perairan Pulau Tengah dan di Pulau Biawak akibat dilarang oleh korporasi atau pengembangnya," kata Asmania.
Bahkan pengembang membangun jembatan laut di Pulau Biawak sehingga membuat nelayan tidak bisa melintas. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), seperti telah diberitakan republika.co.id pada Kamis (23/1/2025), telah melakukan penyegelan terhadap aktivitas pembangunan di Pulau Biawak bagian dari gugusan Pulau Pari, setelah dilakukan pembabatan puluhan ribu pohon mangrove.
"Tapi, ironisnya, pada tanggal 24 Januari 2025, pengembang masih melangsungkan pembangunan di Pulau Biawak tersebut," ujar Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Ahad (26/1/2025).
Susan Herawati menyatakan, pada tahun 2023 dan 2024, warga Pulau Pari yang tergabung dalam Forum Peduli Pulau Pari telah menyurati KKP dan telah meminta audiensi ke KKP, akan tetapi tidak pernah direspons oleh KKP. Sampai saat ini nelayan dan perempuan nelayan dari Pulau Pari masih belum bisa bertemu dengan KKP.
Kiara menilai, yang terjadi di Pulau Pari merupakan tindakan kelalaian yang disengaja yang dilakukan oleh KKP. "Kondisi terbaru, perwakilan warga Pulau Pari telah mengadukan perusakan ekosistem terumbu karang, lamun, dan mangrove yang ada di Gudus Lempeng akibat dari dikeluarkannya PKKPRL oleh atas nama Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM),” tegas Susan.
Berdasarkan kajian dengan menggunakan metode digitasi manual dengan menggunakan citra Sentinel 2A & 2B yang telah dilakukan oleh KIARA bersama Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), luas daratan Pulau Biawak telah bertambah sekitar 0,9 hektare sejak 2016 hingga 2024. Pertambahan luas daratan tersebut berbanding lurus dengan berkurangnya/degradasi luas mangrove sebesar sekitar 0,21 ha yang ada di pulau tersebut.
Pada tanggal 20 Januari 2025, perwakilan pihak dari Kementerian Kelautan dan Perikanan telah berkunjung ke Gugus Pulau Pari, salah satunya adalah mengunjungi Pulau Biawak yang ada di Gugus Pulau Pari. Kunjungan kembali dilakukan pada tanggal 21-23 Januari 2025 oleh perwakilan Kementerian dan Menteri Lingkungan Hidup didampingi oleh Dinas Lingkungan Hidup yang datang ke Pulau Pari.
Salah satu catatan penting dari hadirnya dua kementerian tersebut di Pulau Pari adalah adanya pilih kasih dalam penindakannya dan hanya menyasar pada perusakan yang tidak memiliki perizinan seperti yang terjadi di Pulau Biawak. Permasalahan yang terjadi di gugusan Pulau Pari tidak dilihat secara menyeluruh.
Hal tersebut dapat dilihat bahwa kunjungan dua kementerian tersebut tidak menindak korporasi yang secara de facto telah melakukan reklamasi untuk perluasan daratan yang mendegradasi area terumbu karang, mangrove, dan lamun yang ada di daratan maupun perairan Pulau Tengah.
Kiara dan FP3 menilai pengerukan laut dilakukan oleh eskavator di Gudus Lempeng katena PKKPRL-nya telah dikeluarkan oleh KKP dan Kementerian Investasi/BKPM.