Pagar Laut, Kiara: Persil di Laut 5 Juta Meter Persegi
Pagar laut membentang sepanjang 30,16 kilometer di perairan di enam kecamatan di Kabupaten Tangerang. Akibatnya, ada 4.463 nelayan di enam kecamatan yang terhalang melaut sebelum pagar laut itu tuntas dicabut.
Enam kecamatan itu mencakup Kronjo, Kemiri, Mauk, Sukadiri, Pakuhaji, dan Telukanaga. Nasib para nelayan semakin terancam ketika diketahui wilayah perairan yang dipagar itu sudah dimiliki perusahaan, yang menurut Menteri ATR/BPN Nusron Wahid, luasnya hanya sekitar satu juta meter persegi.
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mencocokkan data milik Kementerisn ATR/BPN dengan data milik Badan Informasi Geospasial (BIG). Terdapat persil-persil di laut seluas sekitar 515,77 hektare atau lebih dari lima juta meter persegi, lima kali lipat dari data yang diungkap Menteri ATR/BPN.
Seluruh persil-persil yang berada di laut tersebut posisinya ada di perairan Desa Kohod, Kecamatan Pakishaji, Kabupaten Tangerang. Privatisasi lait ini bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2014 jo. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta Putusan MK No. 3 Tahun 2010 yang telah membatalkan Hak Penguasaan Perairan Pesisir (HP3).
Hal itu juga tidak sesuai dengan Perda Provinsi Banten Nomor 1 Tahun 2023. Perda ini mengatur tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Banten, yang menyebutkan status pemanfaatan zona ini beberapa di antaranya adalah untuk perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
"Akan tetapi, Perda tersebut juga memiliki berbagai masalah seperti tidak adanya pelibatan dan partisipasi penuh dan bermakna dari masyarakat pesisir, sehingga pengetahuan dan ruang-ruang yang mereka kelola tidak diakui oleh negara,” tegas Sekjen Koalisi Rakyat untuk Kedailan Perikanan Susan Herawati.
Pemasangan pagar laut telah menambah jumlah kasus privatisasi laut yang ada di Teluk Jakarta. Ketika isu pagar laut ini mencuat, pemagaran laut itu diduga berkaitan dengan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang ada di PIK 2.
Dugaan yang selama ini muncul, terbukti setelah Menteri ATR/BPN mengakui adanya sertifikat HGB dan SHM atas wilayah perairan yang dipagari itu. Pemiliknya adalah anak perusahaan pengembang PIK2.
PT Intan Agung Makmur tercatat menguasai 234 bidang dan PT Cahaya Inti Sentosa menguasai 20 bidang. Ada penguasaan sembilan bidang atas nama perorangan, tetapi datanya belum.dibuka oleh Menteri ATR/BPN).
Menurut Susan, pemagaran laut tersebut menjadi bukti bahwa pelibatan dan partisipasi nelayan kecil/tradisional sebagai aktor utama dalam menjaga dan mengawasi laut belum dijalankan oleh Kementerian Krlautan dan Perikanan (KKP). Hal ini menciptakan adanya batas dan jarak antara KKP dan nelayan kecil dan tradisional sebagai right holders dan juga penguasa utama laut Indonesia.
Pelibatan partisipasi masyarakat pesisir (khususnya nelayan) adalah tujuan dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2010.
Menurut Susan, pemberian sertifikat HGB fan SHM di perairan yang dipagari itu merupakan bentuk awal dimulainya privatisasi laut. Wilayah perairan tersebut akan dijadikan sebagai perairan privat untuk berbagai kepentingan seperti reklamasi maupun pertambakan.
Tambak-tambak dan bagan-bagan perikanan telah banyak tersebar di Teluk Jakarta. Hal itu secara nyata telah mengganggu aktivitas perikanan tangkap nelayan kecil dan tradisional yang melakukan aktivitas perikanan tangkap maupun perikanan budidaya (seperti memanen kerang) yang ada di Teluk Jakarta.
"Selain itu, ada juga reklamasi di Teluk Jakarta untuk pembangunan pulau-pulau palsu, serta reklamasi yang terjadi di Ancol dan juga di wilayah Pantai Indah Kapuk,” jelas Susan.
Maka, ketika pada Sabtu (19/1/2025 TNI AL mencabut pagar laut, nelayan Tangerang menyambutnya dengan senang. Semakin senang lagi ketika pada Rabu (22/1/2025) pencabutan agar oleh TNI AL didajsukan oleh Mdnyeri KKP, Menteri ATR/BTN dan Komisi IV DPR.