Hamka Marah Jumlah Orang yang Naik Haji Dibatasi: Yang Menghisap Kekayaan Nasional Bukan Orang Naik Haji
Pada tahun 1950, hanya sembilan kapal yang memberangkatkan calon jamaah haji (calhaj) dari Indonesia. Ini kali pertama pemerintah Indonesia mengambil alih pengurusan haji setelah Indonesia merdeka.
Saat itu, pemerintah membatasi jumlah orang yang berangkat naik haji. Alasannya, negara kekurangan devisa.
Hamka pun marah. “Yang menghisap kekayaan nasional bukanlah orang naik haji,” kata Hamka seperti dikutip buku Naik Haji di Masa Silam.
Pada 1950 itu, Hamka menjadi pegawai di Kementerian Agama dan menjadi anggota Majelis Pimpinan Haji (MPH). Ia ditunjuk oleh MPH untuk memimpin jamaah di salah satu kapal, dari sembilan kapal yang berangkat ke Tanah Suci.
Ini kali kedua Hamka naik haji. Yang pertama ia lakukan pada 1927, saat berusia 19 tahun.
Seperti dikutip buku Naik Haji di Masa Silam, pada 1927 ia melihat dengan mata kepala sendiri perlakuan buruk terhadap jamaah haji Indonesia di Arab Saudi. “Setiap jamaah tak ubahnya dengan kambing-kambing,” kata Hamka.
Ia pun mengecam kelakuan para syekh yang mengurus jamaah haji Indonesia. Ia bahkan bertengkar dengan syekh yang ia anggap telah mengeksploitasi jamaah haji Indonesia.
“Bagi syekh, selain bayaran-bayaran resmi, banyak sumber ‘tidak resmi’ yang didapatnya dari kebodohan orang haji,” kata Hamka.
Bahkan ia berusaha untuk bisa bertemu dengan Raja Arab Saudi Ibnu Said yang tinggal di Riyadh, untuk menyampaikan keluhannya mengenai kelakuan para syekh terhadap jamaah haji Indonesia. Tapi tanpa hasil.
Bagaimana dengan perjalanan hajinya tahun 1950? Saat itu tentu saja pelaksanaan haji di Indonesia tidak lagi bergantung pada kebijakan pemerintah kolonial.
“Tentu belum sempurna,” kata Hamka, seperti dikutip buku Naik Haji di Masa Silam.
Tapi Hamka masih mengecam praktik-prakti buruk di Arab Saudi. Salah satunya adalah adanya pungutan untuk bisa masuk Ka’bah.
“Di Ka’bah sendiri, yang bernama Bai Allah [...] orang membuat sumber kekayaan; laksana stau stan di Pasar Malam, dapat masuk kalau bayarn” kata Hamka di buku Naik Haji di Masa Silam.
Hamka berangkat dari Tanjung Priok pada 16 Agustus 1950. Pada 17 Agustus 1950, kapal ada di perairan Bangka, di kapal diadakan upacara peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Kapten kapal orang Belanda. Hamka menyebutnya sebagai Belanda lautan dan menganggap dadanya lebih luas dari dada orang Belanda daratan.