Sekapur Sirih

Bahasa dan Dasar Kebangsaan Indonesia


Bahasa Indonesia yang diikrarkan sebagai bahasa persatuan di Kongres Pemuda Indonesia II ditetapkan sebagai bahasa negara. Cukup kuatkah sebagai dasar kebangsaan Indonesia? Sumber:priyantono oemar

Kendati begitu, dasar kebangsaan Indonesia di Papua tetap dibangun oleh Jakarta. Dikirimlah buku-buku pelajaran bahasa Indonesia ke Papua sejak 1950-an, kendati Belanda menolaknya.

Hingga kini, bahasa Indonesia --yang diikrarkan sebagai bahasa persatuan di Kongres Pemuda Indonesia II-- masih menjadi persoalan di Tanah Papua, kendati bahasa Indonesia telah “menyelamatkan” pergaulan di Tanah Papua. Berkesempatan empat kali pergi ke Tanah Papua dan bergaul dengan beberapa masyarakat adat di sana, saya merasakan betapa bahasa Indonesia masih menjadi persoalan di Tanah Papua.

Ada 400 lebih suku dan bahasa di Tanah Papua. Suku tidak saling memahami bahasa suku yang lain. Maka, bahasa Indonesia menjadi alat komunikasi yang mempersatukan, kendati bahasa itu tidak disebut sebagai bahasa Indonesia. Mereka menyebutnya sebagai bahasa Melayu Papua, karena tata bahasanya masih jauh dari memadai jika disebut sebagai bahasa Indonesia.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Persoalan itu ternyata tidak menjadi monopoli Tanah Papua, sebab juga masih ada di pulau-pulau besar, seperti Kalimantan dan Sulawesi. Anak-anak Sekolah Dasar di pedalaman Kalimantan, pedalaman Sulawesi, dan pedalaman NTT, misalnya, masih mengeja pedes (pedas) dengan pidis ketika mereka berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia dengan tamu-tamu mereka dari Jakarta.

Ketika para pemuda Indonesia berikrar menjunjung tinggi bahasa persatuan di Kongres Pemuda Indonesia II pada 28 Oktober 1928, tidak ada pemuda dari Papua. Tapi itu bukan berarti bahwa bahasa Indonesia lantas tidak berarti di Tanah Papua.

Karena di kongres itu juga tidak ada pemuda Dayak, tidak ada pemuda Flores, bukan berarti orang Dayak dan orang Flores tidak memiliki kesempatan ikut mengembangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Tiga kali berkesempatan berkunjung ke NTT dan bergaul dengan orang NTT, merasakan betapa orang NTT sangat baik dalam berbahasa Indonesia.

Bahasa menjadi salah satu komponen yang digunakan Jusuf Kalla dalam menyelesaikan kasus konflik di Aceh, Poso, dan Ambon. Sayang, ia belum bisa terlihat dalam penyelesaian konflik di Papua.

Ketika dalam perundingan, GAM tidak ingin ada penyebutan UUD 45, Jusuf Kalla menggunakan konstitusi Indonesia. Anggota DPR sempat mempertanyakan tidak adanya UUD 45 di dalam perjanjian, tetapi Jusuf Kalla memiliki jawaban bahwa konstitusi Indonesia ya UUD 45.

Ketika dalam perundingan, pihak yang bertikai di Poso dan yang bertikai di Ambon tidak mau ada penyebutan kata damai, Jusuf Kalla mengajukan frasa hentikan konflik. Di berbagai kesempatan, Jusuf Kalla mengatakan bahwa dalam penyelesaian konflik dan menjaga persatuan bangsa, penguasaan bahasa Indonesia itu menjadi penting.

Berita Terkait

Image

Gara-gara Yamin, Peserta Kongres Pemuda Dikira dari Seluruh Indonesia

Image

Gara-gara Yamin, Peserta Kongres Pemuda Dikira dari Seluruh Indonesia

Image

Gara-gara Yamin, Peserta Kongres Pemuda Dikira dari Seluruh Indonesia

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image