Lincak

Karena Kuda Kompeni, Amangkurat I Memberi Hukuman Mati kepada Penguasa Jepara Sepulangnya dari Cirebon

Raja Mataram Amangkurat I menganggap penguasa Jepara Ngabei Martonoto telah berbohing mengenai hadiah kuda dari Kompeni. Sepulang tugas dari Crrebon, Martonoto dihukum mati oleh Amangkurat I.

Desas-desus konflik di Cirebon telah terdengar di Mataram, sehingga Amangkurat I mengirim penguasa Jepara Ngabei Martonoto. Tumenggung Jepara Ngabei Martonoto, berangkat ke Cirebon di akhir November atau awal Desember 1662 ketika Raja Cirebon sudah meninggal.

Raja Mataram Amangkurat I kemudian memberikan hukuman mati kepada Martonoto sepulangnya dari tugas ke Cirebon. Lho, mengapa?

Menurut catatan Belanda, Martonoto berangkat ke Cirebon untuk mengubah hukum di Cirebon. Tapi, sepulang dari Cirebon, Amangkurat I tidak menanyakan tugas ke Cirebon itu.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Ada Empat Pasal Perdamaian, kepada Kompeni Amangkurat I Raja Mataram Meminta Hadiah Kuda Setiap Tahun

Pada 19 Desember1662, Martonoto telah tiba di Semarang dari perjalanan tugasnya ke Cirebon. Dengan pengawalan 4.000 orang, ia segera berangkat ke Plered, karena Amangkurat I telah menunggunya. Martonoto biasa ke keraton Mataram dengan pengawalan besar.

Amangkurat I tidak bertanya mengenai kondisi Cirebon. Amangkurat I mengungkit kembali tentang kuda yang dihadiahkan Martonoto kepadanya pada Oktober 1662.

Sepertinya, Amangkurat I sudah tahu jika dua kuda itu bukan hadiah dari Gubernur Jenderal, melainkan kuda yang dibeli oleh Martonoto. Maka, ketika ketika harga kuda itu, Martonoto menjawab 300 riyal Spanyol.

“Kamu bohong, Martonoto, dan juga bohong kuda-kuda itu dikirimkan orang Belanda ke sini,” kata AmangkuratI, marah.

Amangkurat I lalu mengingatkan isi perintah yang ia berikan kepada Martonoto. Yaitu ia hanya memerintahkan Martonoto mengirim utusan untuk melihat kuda di Batavia. Ada tidak? Apa warnanya? Bagaimana besarnya?

Oohya! Baca juga ya:

Raja Mataram Amangkurat I dan Kasus Kuda dari Kompeni: Jangan Pernah Mengemis Apa pun Atas Namaku kepada Bangsa Asing Mana pun

“Dan kemudian melaporkannya kepadaku. Itulah yang diperintahkan kepadamu, bukan untuk membelinya,” kata Amangkurat I.

Pada Juni 1662, Martonoto mengirim utusan ke Batavia atas perintah Amangkurat I itu. Tapi, ketika utusan pulang pada akhir September 1662, dibawa pula dua kuda dari Batavia.

Kuda itu oleh Martonoto dipersembahkan kepada Amangkurat I dengan menyebutnya sebagai hadiah dari Gubernur Jendetal Kompeni. Saat itu, Amangkurat I tidak percaya, tetapi Martonoto berusaha meyakinkan Amangkurat I.

Permintaan maaf Martonoto karena telah berbohong tidak didengar oleh Amangkurat I. Martonoto pun dihukum mati.

Amangkurat I memerintahkan eksekusi menggunakan keris. Tidak dengan menusuknya, melainkan dengan memenggalnya.

Tentu susah memenggal dengan keris karena keris adalah alat tusuk. “Para pembesar segera bersiapa, menangkapnya, dan membawanya ke alun-alun, dan bersama-sama memenggal kepalanya, tetapi harus menikamnya 30 kali dengan keris sebelum berhasil,” tulis HJ De Graaf mengutip laporan Dagregister 15 April 1663.

De Graaf menyebut hukuman ini sangat kejam dan membuat negeri taklukan sangat terkesan. Palembang, misalnya, perlu berpikir matang lagi sebelum mengirimkan utusan ke Mataram.

Oohya! Baca juga ya:

Cerita Andi Sahrandi tentang Pelajaran dari Kampung Menjelang Pilpres

Setelah menghukum mati Martonoto, Amangkurat I kemudian mengambil kuda Martonoto yang pada Oktober 1662 ia tolak. Pada Oktober itu, setelah menolak kuda itu, Amangkurat I memerintahkan Martnoto untuk mengembalikan kuda itu ke Batavia.

Rupanya, Martonoto tidak mengembalikannya ke Batavia, karena memang itu bukan kuda pemberian, melainkan kuda yang telah ia beli.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I karya Dr DJ de Graaf (1987)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
oohya.republika@gmail.com

Berita Terkait

Image

Siapa Budak yang Jadi Pahlawan Nasional di Indonesia?

Image

Banjarmasin Dua Abad Tolak Monopoli Kompeni, Dihapus Belanda pada 1860