Lincak

Raja Mataram Amangkurat I dan Kasus Kuda dari Kompeni: Jangan Pernah Mengemis Apa pun Atas Namaku kepada Bangsa Asing Mana pun

Kuda menjadi hadiah dari Kompeni yang disukai Raja Mataram Amangkurat I. Namun ketika Kompeni tak lagi memberi hadiah, penguasa pesisir membelinya lalu menghadiahkan kepada Amangkurat I.

Pada 1657-1658 tak banyak kuda di kandang Kompeni di Batavia. Padahal Amangkurat I sedang membutuhkan kuda-kuda. Kompeni sudah tidak lagi mengirim hadiah kuda.

Menjadi tanggung jawab para penguasa di pesisir utara (Semarang, Demak, Pati, Jepara) untuk menyediakan kuda bagi Raja Mataram. Maka, empat penguasa di pesisir utara itu mengirim utusan ke Batavia pada Agustus dan September 1657, untuk membeli kuda.

Tak banyak kuda yang tersedia, kecuali kuda yang kecil-kecil badannya. Masing-masing utusan membeli satu kuda, sehingga ada empat kuda yang akan mereka bawa pulang.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Ada Empat Pasal Perdamaian, kepada Kompeni Amangkurat I Raja Mataram Meminta Hadiah Kuda Setiap Tahun

Namun hanya tiga ekor yang bisa dikirim ke keraton, karena satu ekor di antaranya telah mati. Amangkurat I pun menanyakan asal-usul kuda itu.

Penguasa Jepara Ngabei Martonoto menyebut kuda-kuda itu hadiah dari Gubernur Jenderal Kompeni dan pejabat lainnya. Karena kudanya kecil-kecil, Amangkurat I mengaku tidak senang dengan kuda-kuda itu.

Martonoto menyebut sudah tidak ada lagi kuda di Batavia, Amangkurat I tidak mempercayainya. Ia pun mengirim sendiri enam paketik (perawat kuda) keraton ke Batavia.

Untuk mendampingi mereka agar berwibawa setibanya di Batavia, Martonoto menyuruh syahbandarnya untuk mendampingi mereka. Dikirim pula pembantu syahbandar yang pandai berbahasa Belanda dan Portugis, Nolopodo.

Penguasa Pati, Notoairnowo, juga menuruh syahbandarnya untuk mendampingi mereka. Penguasa Demak mengirimkan kuda yang tidak disukai Amangkurat I itu.

Oohya! Baca juga ya:

Cerita Andi Sahrandi tentang Pelajaran dari Kampung Menjelang Pilpres

Setibanya di Batavia, mereka benar-benar tidak bisa melihat lagi kuda-kuda di kandang. Kuda-kudanya mati mendadak di hari Natal 1657, sehingga mereka pulang dengan tangan kosong.

Pada Juli 1658, para penguasa pesisir kembali mengajukan permintaan kuda ke Batavia. Lagi-lagi, Kompeni tidak bisa memenuhi permintaan mereka. Mereka diminta menunggu datangnya kapal yang membawa kuda Persia.

Ketika kapal itu datang, hanya membawa empat ekor kuda Persia. Utusan dari penguasa Semarang ternyata masih di Batavia, sehingga ketika mengetahui kuda Persia sudah datang, ia pun memintanya.

Kompeni memenuhi permintaan itu, dengan tujuan agar orang-orang Jawa semakin terikat dengan Kompeni. Maka, utusan dari Semarang itu diminta memilih satu kuda dari empat kuda itu, dengan harga 300 riyal Spanyol.

Empat tahun kemudian, pada 1662, Ngabei Martonoto membeli dua kuda dari Batavia. Sebenarnya, Amangkurat I cuma meminta Martonoto mengirim utusan ke Batavia untuk melihat kuda yang tersedia.

Sebelum Amangkurat I memerintahkan hal itu, Martonoto rupanya sudah mencari tahu kuda yang tersedia di Batavia. Cuma ada dua ekor.

Oohya! Baca juga ya:

Anak Usia Dua Tahun Bisa Berjalan Setelah Konsumsi Kelor, Istri Ganjar Sebut Kelor yang Bisa Cegah Stunting Harganya Lebih Murah dari Moringa

Maka, ketika Amangkurat I memerintahkan untuk melihat kuda ke Batavia, ia menafsirkannya sebagai perintah untuk membeli. Para utusan wakil dari Semarang dan wakil dari Jepara berangkat ke Batavia dengan mebawa hadiah enam koyan beras, empat ekor kuda Jawa, empat ekor sapi.

Mereka juga menyampaikan pesan Raja Mataram bahwa mereka diutus untuk membeli dua ekor kuda dan permadani. Pada 29 September 1662, mereka pulang dengan membawa dua ekor kuda Persia.

Penguasa Jepara Martonoto dan penguasa Semarang Wirosetio menyatakan dua kuda yang dipersembahkan kepada Amangkurat I itu merupakan hadiah dari Gubernur Jenderal Kompeni di Batavia. Amangkurat I tidak mempercayainya, karena Gubernur Jenderal tidak mungkin memberikan kuda tanpa adanya permintaan dari dirinya.

Amangkurat I menyebut dua penguasa pesisir itu telah membeli dua kuda itu. Mereka menyangkalnya, dan berusaha meyakinkan Amangkurat I bahwa kuda-kuda itu benar-benar hadiah dari Batavia.

“Kepala kantor dagang Kompeni di Japara ... setelah mendengar bahwa kuda-kuda Sri Baginda sudah mulai menjadi tua, dan Sri Baginda menghendaki kuda-kuda yang lebih muda, memberitahukan hal itu kepada Kapten Moor dan kemudian kuda-kuda itu dikirimkan dengan kapal dari Batavia,” jelas Martonoto.

Oohya! Baca juga ya:

Masjid Istiqlal Berkolaborasi dengan Pepsodent Tingkatkan Kesehatan Gigi dan Mulut Menjelang Bulan Ramadhan

Amangkurat I sepertinya ingin mempercayai laporan Martonoto. Setelah diam sejenak, ia pun memarahi Martonoto.

“Kuda-kudamu, Martonoto, menyenangkanku. Tetapi aku tidak dapat menyetujui kamu mengirimkan abdimu ke Batavia untuk meminta sesuatu dari Kapten Moor bagiku. Aku juga tidak setuju apabila kamu meminta sesuatu bagiku kepada kantor dagang di Jepara itu,” kata Amangmkurat I.

Amangkurat I pun menjelaskan kasus yang menimpa Tumenggung Surabaya, Notoairnowo yang sebelumnya menjadi tumenggung Pati. Pada Desember 1660, Tumenggung Surabaya dijatuhi hukuman mati oleh Amagkurat I, karena mengemis kepada Kompeni. Itu sama dengan merendahkan martabat Raja Mataram.

“Karena sikapnya itu, yang mengemis-ngemis kepada orang Belanda, menghinaku. Maka, kuperingatkan kamu berdua, jangan pernah mengemis apa pun atas namaku, kepada bangsa asing mana pun,” kata Amangkurat I.

Amangkurat I meminta Martonoto membawa pulang kuda-kuda itu dan mengembalikannya ke Batavia. Tapi, Martonoto tidak bernasib sama dengan Tumenggung Surabaya. Ia tidak dihukum mati, karena Amangkurat I masih memerukan tenaganya untuk menjalankan tugas penting ke Criebon.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I karya Dr HJ de Graaf (1987)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]