Hari Nelayan, Kiara: Nelayan Kecil dan Tradisional Masih Terancam Keberadaannya
Perlindungan atas kedaulatan ruang perairan nelayan kecil/tradisional masih memprihatinkan. "Kondisi nelayan masih membutuhkan perhatian serius dari pemerintah, khususnya dalam konteks pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan dari pemerintah,* kata Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati menyambut Hari Nelayan Nasional.
Tanggal 6 April diperingati sebagai Hari Nelayan Nasional. Nelayan kecil dan tradisional di Indonesia memiliki peran penting dalam pemenuhan gizi dan protein bagi seluruh rakyat Indonesia.
Profesi nelayan juga memiliki peran penting sebagai ujung tombak dalam menjaga keutuhan dan kedaulatan negara Indonesia. Yaitu melalui eksistensi mereka di perairan laut Indonesia, khususnya di perairan perbatasan Indonesia dengan negara-negara lain.
Oohya! Baca juga ya:
Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 2016 mengatur tentang perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudi daya ikan dan petambak garam. “Akan tetapi mandat dari UU 7/2016 tersebut masih belum sepenuhnya dijalankan," kata Susan.
Pengakuan atas eksistensi profesi nelayan kecil, khususnya perempuan nelayan, juga masih minim. Hal itu bisa meningkatkan kerentanan yang dialami oleh nelayan kecil yang saat ini juga tengah berjuang menghadapi perampasan ruang (ocean grabbing).
Mereka juga yerancam oleh perubahan iklim. Perubahan iklim menyebabkan semakin jauhnya area tangkapan, meningkatnya biaya produksi, menurunnya hasil tangkapan.
Nelayan kecil saat ini dalam kondisi terancam akibat perampasan ruang hidup. Hal itu dilegitimasi oleh berbagai kebijakan dan peraturan yang disusun oleh pemerinta., "Salah satu contohnya adalah rencana pembangunan Giant Sea Wall di Teluk Jakarta dan juga di Jawa Tengah,” kata Susan.
Oohya! Baca juga ya:
Pernah tak Puasa, Sultan Agung Rayakan Lebaran dengan Garebek Syawal (Grebeg Syawal)
Susan menjelaskan, Presiden yang terpilih saat ini yaitu Prabowo Subianto, bahkan tengah gencar terlibat dalam rencana proyek pembangunan tanggul laut raksasa (giant sea wall) yang ada di Pantai Utara Jawa. Khususnya di Teluk Jakarta dan perairan pesisir Jawa Tengah.
“Proyek pembangunan tanggul laut raksasa atau giant sea wall ini akan menyebabkan beberapa hal, yaitu akan menimbun laut yang akan merampas ruang tangkap nelayan kecil/tradisional," kata Susan.
Untuk memasok kebutuhan material pasir laut, proyek itu akan menambang pasir laut di tempat lain. Akibatnya, akan menyebabkan perampasan ruang tangkap nelayan dan merusak ekosistem perairan laut di tempat penambangan pasir tersebut.
Kiara mencatat, kebijakan lain yang saat ini berpotensi merampas dan merusak ruang hidup nelayan dan ekosistem laut adalah aktivitas yang dilegitimasi melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2023. PP ini mengatur Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Artinya, PP ini melegalisasi praktik penambangan pasir laut di perairan Indonesia. Selain pertambangan pasir laut, ada juga pertambangan nikel yang saat ini dimasifkan untuk hilirisasi nikel nasional.
Kebijakan lainnya adalah pembatasan penangkapan ikan. Pembatasan ini disahkan melalui PP No. 11 Tahun 2023 dan PermenKP No. 36 Tahun 2023 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Zona Penangkapan Ikan Terukur dan Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Ohya! Baca juga ya:
Beringin dan Istana Emas di IKN, Ini Kata Serat Kaca Wirangi
Lalu ada proyek pariwisata dengan label ekowisata, premium, hingga eksklusifl. Kebijakan ini menyebabkan privatisasi perairan, pesisir, dan pulau-pulau kecil hingga membatasi bahkan memutus akses nelayan atas ruang kelolanya.
Kiara juga menyoroti UU 7/2016 karena tidak adanya jaminan atas kepastian ruang tangkap tradisional nelayan, dan jaminan pengakuan kepada perempuan yang berprofesi sebagai nelayan dalam UU tersebut. "Saat ini terdapat 3,9 juta jiwa perempuan nelayan yang belum mendapatkan pengakuan atas profesi sebagai nelayan dari pemerintah," kata Susan.
Ini, kata Susan, seharusnya menjadi bahan evaluasi pemerintah untuk segera merevisi UU 7/2016 atau memasukkan 2 konteks tersebut dalam peraturan teknis/pelaksaannya. Tujuannya agar UU 7/2016 menjadi UU yang implementatif, bukan seperti kondisi aktual saat ini.
Kiara mencatat, nelayan juga tengah dicemaskan oleh kebijakan internasional yang akan meliberalisasi sumber daya perikanan dan kelautan Indonesia melalui investasi dan perdagangan. “Bahkan dalam konteks global, saat ini tengah dibahas tentang penghapusan berbagai subsidi perikanan dalam Konferensi Tingkat Menteri di World Trade Organization (WTO)," kata Susan.
Penghapusan subsidi perikanan yang dibahas tersebut menjadi kekhawatiran tersendiri bagi nelayan kecil. Subsidi untuk nelayan kecil di Indonesia merupakan mandat yang jelas dan tegas dari UU No. 7 Tahun 2016.
Oohya! Baca juga ya:
Bicara Simbol, Beda Jokowi dengan Sunan Kudus dalam Membangun Kota
"Yaitu sebagai bentuk perlindungan dan pemberdayaan bagi nelayan, terutama dalam menghadapi perubahan iklim dan menjaga sistem pangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,” jelas Susan.
Keseluruhan kebijakan dan peraturan yang ekstraktif dan eksploitatif tersebut berujung pada minimnya perlindungan atas hak asasi manusia. Juga ninimnya penemuhan hak-hak sebagai warga negara bagi nelayan dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
“Seharusnya momentum Hari Nelayan Nasional di 2024 menjadi titik balik bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi yang menyeluruh, mencabut regulasi yang tidak berpihak kepada profesi nelayan kecil, menyusun perlindungan ruang tangkap tradisional, serta memberi pengakuan kepada perempuan nelayan akan menjadi satu terobosan dan langkah maju yang progresif dari pemerintah Indonesia untuk perlindungan nelayan kecil," kata Susan.
Sebanyak 90 persen nelayan di Indonesia merupakan nelayan kecil. "Tidak ada pilihan lain bagi pemerintah selain berpihak dan melindungi nelayan kecil di Indonesia. Selamat Hari Nelayan 2024!” kata Susan.
Ma Roejan