Bahasa Belanda Sempat Menghambat Persatuan Indonesia pada 1920-an
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
Masyarakat di Jawa dan Sumatra sempat menikmati gengsi bahasa Belanda dalam keseharian. Madong Lubis menceritakan hal itu di Kongres Bahasa Indonesia Kedua di Medan pada 1954.
Oohya! Baca juga ya:
Sebagaimana Halnya Kopi, Persatuan Indonesia pun Perlu Disangrai dan Diseduh
Nasib Nama-Nama dari Belanda Setelah Indonesia Merdeka
Ketidaksukaan pada Nama Indonesia Masih Muncul pada 1945
Indonesia Lebih Nendang daripada Nusantara
Membicarakan pengaruh bahasa Belanda sejak masa lahirnya buku Max Havelaar karya Multatuli, Madong Lubis menyebut, memasuki abad ke-20 banyak orang Indonesia yang terkesima oleh istilah-istilah dalam bahasa Belanda.
Madong mengatakan:
Titel klerk, title candidaat-onderwijzer sangat merdu bunjinja ditelinga anak-anak kita.
Berlumba-lumba pegawai2 jang belum mengetjap nikmat bahasa Belanda itu merebutnja dengan djalan lain, jaitu dengan beladjar diluar dinding sekolah dan menempuh udjian “klein-ambtenaar”.
Sedjak itu koers bahasa Indonesia jang waktu itu disebut bahasa Melaju, turun seturun-turunnja.
Gengsi bahasa Belanda pun, kata Madong Lubis, membubung tinggi. Sapaan “dag Zus”, “dag Meneer”, “dag Mevrouw”, sangat nyaring terdengar.
Kata Madong Lubis:
Sangat merdu bunjinja ditelinga masjarakat, terutama ditelinga pemuda-pemudi jang waktu itu mendapat titel “jongeheer” dan “jonge juffrouw”.
Seruan seperti itu menggema, berkumandang diudara Indonesia, sangat merdu bunjinja, meresap kedalam sumsum, djauh lebih merdu dan seronok dari pada geritik djari ahli biola pada tali jang mendengungkan lagu Makan Sirih, Seri Mersing atau lagu Es Lilin dan Djali-djali.
Oom, papi, tante, zus dan mami lebih menggeletarkan sukmanja dari pada bapak, mak-tjik, kakak dan ibu atau mak. Jij sudah lupa sama ik rupanja, ja? Och, neen, apa U sudah bekerdja? O, ja, waar?
Dengan kondisi seperti itu, kata Madong Lubis, buku-buku Indonesia tidak menarik lagi. Koran-koran Indonesia pun mengalami nasib serupa.
Lebih lanjut Madong Lubis menyatakan:
Surat kabar Deli Courant, De Locomotief, de Preangerbode d.l.l. mendjadi lambang ketjerdasan, tambang intellectualisme.
Dikereta api, direstoran2, bahkan dikedai2 kopi pun surat2 kabar Belanda itulah jang dikembangkan. Tiap2 pemuda dan pemudi tidak segan2, tidak malu2 mendengungkan kerese-pesean ditengah-tengah peralatan atau kenduri, jang terbanjak dikundjungi dan dihadiri oleh kaum agama, jang tidak tahu bahasa Belanda.
Kondisi seperti itu, menurut Madong Lubis yang mengaku sudah berkeliling Indonesia, tidak hanya terjadi di Sumatra, tetapi juga di Jawa, dan terlebih lagi di Indonesia Timur. Bahasa Belanda sudah menjadi bahasa persatuan kalum intelek. Tetapi, di Jawa misalnya, semua itu hanya terjadi di kota-kota besar dan kota dagang. Di luar itu, bahasa persatuannya ya masih bahasa daerah.
...bahasa persatuan jang sebenarnya adalah bahasa daerah, jakni Sunda, Djawa dan Madura. Bahasa persatuan jang kedua adalah bahasa Belanda, bukan bahasa Melaju. Bahasa Melaju itu tidak dikenal diluar kota.
Di Hindia Baroe, Nrs menyindir para aktivis Jong Sumatranen Bond dan Jong Java yang berperilaku kebelanda-belandaan. Perilaku ini dikaitkan dengan penggunaan bahasa, banyak anggota Jong Sumatranen Bond dan Jong Java yang lebih senang menggunakan bahasa Belanda daripada bahasa Indonesia yang diusulkan Tabrani.
Ingatlah! Kalau saudara-saudara tjinta kepada bangsa Indonesia, tjintailah bahasa Indonesia. Sifat ke-Belandaan itoe gantilah dengan sifat ke-Indonesiaan.
Muh Hatta memiliki kesaksikan betapa Jong Islamitedn Bond didirikaada 1925 sebagai antithesis dari perilaku para pemuda di perkumpulan kedaerahan. Menurut Hatta, perkumpulan pemuda kedaerahan itu dinilai Agus Salim “tergantung diawang-awang”. Mendapat didikan barat, lalu lupa agama. Berlagak kebarat-baratan, tetapi sikap rasional Baratnya tidak pernah dimiliki. Mereka terkurung pada ide kedaerahan, kepulauan masing-masing, lupa tanah airnya yang sebenarnya, yaitu Hindia.
Tapi, aktivis Jong Java, G Astrohadikoesoemo, membela Jong Sumatranen Bond dan Jong Java. Ia memberi kesaksian selama enam tahun aktif di Jong Java menggunakan bahasa Belanda, belum ada yang meragukan perasaan keindonesiaan dirinya.
Tentang Jong Java, kata Astrohadikoesoemo:
Soedah mendapati bahwa pemoeda kita jang terpeladjar tidak mendjelma dari sifat keindonesiaan ke sifat keasingan. Tentu sadja ketjoeali bahagian yang amat ketjil.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
“Bahasa Indonesia Didalam Pergaulan Sehari-hari” karya Madong Lubis dalam Kongres Bahasa Indonesia Tahun 1954 28 Oktober – 2 November di Medan (1954)
“Kenang-kenangan kepada Hadji Agus Salim” karya Moh Hatta dalam Hadji Agus Salim Pahlawan Nasional (1965)
Hindia Baroe edisi 8 Februari 1926
Hindia Baroe, 13 Februari 1926
Hindia Baroe, 11 Februari 1926