Sekapur Sirih

Sebagaimana Halnya Kopi, Persatuan Indonesia pun Perlu Disangrai dan Diseduh

Ketua Panitia SUmpah Pemuda Indonesia Pertama M Tabrani menyatakan, siapa yang takut terbakar api, mereka tak akan menyala, tak akan memberi terang bagi bangsa Indonesia. Ia pun menyeru kepada seluruh rakyat Indonesia membangun Persatuan Indonesia.
Ketua Panitia SUmpah Pemuda Indonesia Pertama M Tabrani menyatakan, siapa yang takut terbakar api, mereka tak akan menyala, tak akan memberi terang bagi bangsa Indonesia. Ia pun menyeru kepada seluruh rakyat Indonesia membangun Persatuan Indonesia.

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Tabrani –salah satu dari 10 pemuda yang menyelengarakan Kongres Pemuda Indonesia Pertama— lantang mengobarkan api persatuan Indonesia sekaligus api perlawananan terhadap Belanda. Ia seolah menegaskan bahwa barang siapa yang takut terbakar oleh kobaran api itu, mereka tak akan dapat menyala, tak akan dapat memberi terang bagi bangsa Indonesia yang sedang dalam kegelapan panjang, tak akan memberi jalan keluar bagi kemerdekaan Indonesia.

Itu seperti pengakuan Sukarno setelah menyimak cerita pengadilan rakyat Yunani kuno di ruang kelas:

Aku membayangkan pemikir-pemikir yang sedang marah selagi berpidato dan meneriakkan semboyan-semboyan seperti “Persetan dengan Penindasan” dan “Hidup Kemerdekaan”. “Hatiku terbakar menyala-nyala.”

Oohya! Baca juga ya:

Nama-Nama Lama yang Pernah Dimiliki oleh Pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua

Lagu 'Indonesia Raya' Penuh Kata-Kata Menggugah, WR Supratman Dapat dari Mana?

Pada 1920-an, pembahasan gagasan persatuan Indonesia masih terbatas dilakukan di kelompok-kelompok kecil yang kemudian diperkuat oleh pers. Hingga akhirnya pada tahun 1926, di Kongres Pemuda Indonesia Pertama, Tabrani meneriakkan semboyan politik meniru semboyan politik Karl Marx.

Marx, seperti dikutip linguis Amerika Serikat Mario Pei,berteriak, “Kaum proletar di seluruh dunia, bersatulah! Engkau tidak bisa kehilangan apa-apa kecuali belenggumu!” Ketika berpidato di Kongres Pemuda Indonesia Pertama selaku ketua panitia kongres, Tabrani menutup pidatonya dengan teriakan, “Rakyat di seluruh kepulauan Indonesia, bersatulah!”

Meski ia bicara di kongres pemuda, tetapi ajakan Tabrani itu bukan hanya ditujukan kepada pemuda Indonesia, melainkan kepada seluruh rakyat Indonesia. Tabrani sudah memikirkan Indonesia Raya sejak masih aktif di Jong Java. Bukti tertulis yang ada adalah sejak 1924, yaitu di majalah Jong Java, dua tahun sebelum Sukarno meneriakkan hal yang sama pada 1926 ketika menulis “Nasionalisme, Islamisme, dam Marxisme” di majalah bulanan Soeloeh Indonesia Moeda, 1926.

Di waktu lain, beberapa tahun setelah 10 pemuda penyelenggara Kongres Pemuda Indonesia Pertama menggegerkan politik di Hindia Belanda, Sukarno juga memunculkan semboyan persatuan untuk perlawanan setelah keluar dari penjara Sukamiskin: “Seribu orang tua dapat memindahkan Semeru, tapi 10 pemuda dapat mengguncangkan dunia.”

Mario Pei menilai, bahasa memiliki kekuatan terpendam yang dapat merangsang munculnya tindakan politik. Menyadari hal itu, ketika menutup pidatonya di Kongres Pemuda Indonesia Pertama itu, Tabrani juga meneriakkan ajakan bersatu bagi seluruh rakyat di semua kepulauan Indonesia.

Di bagian awal pidatonya saat membuka Kongres Pemuda Indonesia Pertama, Tabrani menyatakan:

Kita semua, orang-orang Jawa, Sumatera, Minahasa, Ambon dan lain-lainnya, oleh sejarah ditempa menjadi insan, yang harus bersatu padu, jika kita ingin mencapai tujuan kita bersama yaitu kemerdekaan Indonesia, Ibu Pertiwi tercinta.

Bagaimana para pemuda yang aktif di organisasi kedaerahan itu tiba-tiba memperjuangkan persatuan Indonesia di dekade 1920-an?

Slogan persatuan sebenarnya sudah di dekade 1910-an. Pelakuknya Tjokroaminoto lewat Sarekat Islamn. Saat itu nama Indonesia belum dikenal. Nama yang dipakai seringnya adalah Hindia, tanpa mencantumkan Belanda di belakangnya. Maka, Tjokroaminoto dan Sarekat Islam menjangkau Persatuan Hindia melalui pan-islamisme.

Di buku yang diterbitkan pada tahun 1911, A Cabaton sudah menyinggung semangat Pan-Islamisme yang ditumbuhkan di Hindia ini oleh orang-orang Arab. Belanda, menurut Cabaton, mempermasalahkan Pan-Islamisme orang Arab ini, karena bisa mempengaruhi pribumi dalam membangkitkan fanatisme atas nama persaudaraan seiman yang bisa diarahkan untuk melawan Belanda. Pada posisi ini, kalangan pribumi menaruh hormat kepada orang-orang Arab, karena mereka penyokong agama dan keturunan Nabi Muhammad.

Kata Cabaton mengenai ambisi Pan-Islamisme yang sedang tumbuh sebelum tahun 1911 di kalangan orang Arab di Hindia:

...terdapat sejumlah orang yang berkedok agama yang terlena oleh impian ambisius tentang pan-Islamisme. Mereka sakit hati melihat Hindia masih dalam cengkeraman orang-orang kafir, padahal dulunya mereka mendominasi secara moral.

Cabaton menyebut, pemikiran yang tersembunyi ini jarang terwujud dalam tindakan nyata. ”Hanya sedikit yang berani mengekspresikannya secara terbuka,” kata Cabaton.

Sarekat Islamlah --yangmengusung sosialisme Islam—kemudian mewujudkan Persatuan Hindia dalam semangat Pan-Islamisme itu. Tjokroaminoto menyangrai Persatuan Hindia di Kongres Nasional Sarekat Islam Juni 1916. Tjokroaminoto meneriakkan slogan, “Kita mencintai bangsa kita dan dengan kekuatan ajaran agama kita (Islam), kita berusaha sepenuhnya untuk mempersatukan seluruh atau sebagian terbesar bangsa kita.”

Jika aroma kopi yang sudah disangrai disukai Belanda, aroma Persatuan Hindia ala Pan-Islamisme Hindia sangat dibenci Belanda. Pan-Islamisme Hindia yang tumbuh di kalangan Jawa dan Melayu, kata Cabaton, membuat Belanda memiliki masalah yang jauh lebih besar justru dengan murid-murid orang Arab dari kalangan Jawa dan Melayu. Semua gangguan terhadap Belanda justru muncul bukan dari orang-orang Arab yang mengusung Pan-Islamisme, melainkan dari orang-orang Jawa dan Melayu yang baru pulang dari Makkah.

Terbukti bahwa Sarekat Islam bukanlah gerakan yang mengutamakan golongan sendiri. Sarekat Islam hanya memakai Islam sebagai alat pengikat sosial politik untuk membedakan bangsa Indonesia dengan yang bukan bangsa Indonesia. Mendengungkan sosialisme Islam, Tjokroaminoto juga meneriakkan slogan: “Perikemanusiaan adalah menjadi satu persatuan –begitulah pengajaran di dalam Alquran yang suci itu, yang menjadi pokoknya sosialisme.”

Tapi, perkembangan politik kemudian memunculkan penyebutan kubu. Muncul penyebutan kelompok keagamaan dan kelompok kebangsaan. Ini seperti menegaskan bahwa kelompok keagamaan bukanlah kelompok kebangsaan. Padahal mereka, meminjam istilah Darmo Kondo edisi 12 Juni 1928, terbukti sebagai “pemeluk kebangsaan tulen”. Pengelompokan ini juga muncul di BPUPKI seperti yang diungkapkan oleh Sukarno ketika membahas Pancasila:

Saya minta, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain: maafkan saja memakai perkataan “kebangsaan” ini! Saja pun orang Islam. Tetapi saja minta kepada saudara-saudara, djanganlah saudara-saudara salah faham djikalau saja katakana bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar kebangsaan (Himpunan Risalah Sidang-sidang BPUPKI).

Penyebutan kelompok identitas (kebangsaan dan keagamaan) itu tidak hanya muncul saat menjelaskan Pancasila, melainkan juga ketika menyusun anggota BPUPKI. Anggota BPUPKI dan PPKI, di antaranya mewakili kelompok kebangsaan dan kelompok keagamaan.

Bagaimanapun, seperti halnya kopi yang sudah disangrai, Persatuan Indonesia memerlukan seduhan. Ada banyak cara untuk menyeduhnya. Kata Tabrani pada Januari 1926 menyajikan seduhan persatuan Indonesia yang masih panas:

Tapi sekalian bangsa kita diseloeroeh Indonesia mestilah menganggap badannja sebagai bangsa Indonesia jang ta’ merdeka. Dan sebagai bangsa Indonesia itoelah kita sekalian diwadjibkan senantiasa beroesaha dan berichtiar bagaimana ‘akal soepaja tanah air kita Indonesia terperintah oleh bangsa kita Indonesia sendiri. Perasaan anak-Indonesia lambat-laoen melekat pada toeboeh tiap-tiap bangsa kita.

Kata Sukarno pada sidang BPUPKI 1 Juni 1945, “Kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia.” Lebih jauh Sukarno mengatakan:

Nationale staat hanja Indonesia seluruhnja, jang telah berdiri didjaman Sriwidjaja dan Madjapahit dan jang kini pula kita haroes dirikan bersama-sama. Karena itu, djikalau tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar negara jang pertama: Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia jang bulat! Bukan kebangsaan Djawa, bukan kebangsaan Sumatra, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, jang bersama-sama mendjadi dasar nationale staat.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:

Aku Pemuda Kemarin di Hari Esok karya A Zainoel Ihsan dan Pitut Soeharto (1981)

Anak Nakal Banyak Akal karya M Tabrani (1979)

Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams (1986)

Di Bawah Bendera Revolusi karya Sukarno (1963)

Himpunan Risalah Sidang-sidang dari BPUPKI dan PPKI

Hindia Baroe edisi 4 Januari 1926

Kisah Bahasa karya Mario Pei (1971, diiterjemahkan dari The Story of Language).

Laporan Kongres Pemuda Indonesia Pertama di Weltevreden 1926 (1981)

Sejarah Super Lengkap Hindia Belanda karya A Cabaton (2019, diterjemahkan dari Java, Sumatra and Other Islands of the Dutch East Indies terbit 1911)

Berita Terkait

Image

Tae Bikin Farhat Abbas dan Denny Sumargo Berseteru, Parada Harahap dan Tabrani Dulu Berseteru karena Kongkalikong

Image

Ini Alasan Kongres Pemuda Diadakan, Ada Orang Tua, dan Bikin Sumpah Pemuda