Nama-Nama Lama yang Pernah Dimiliki oleh Pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
Dari 17 ribu pulau di Indonesia, terbentang lima pulau besar dari Sabang sampai Merauke. Yaitu Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Oohya! Baca juga ya:
Pernah Ada Lomba Menulis tentang Sagu, Satu Pohon Sagu Cukup untuk Makan Setahun
Bukan Sin Po yang Memuat Pertama Kali Lagu 'Indonesia Raya', Melainkan Koran di Bandung
Indonesia Memiliki Sebutan Zamrud Khatulistiwa, Siapa Pencetusnya?
Di ujung Sumatra ada Pulau Weh yang memiliki kota bernama Sabang. Kita mengenal lagu “Dari Sabang Sampai Merauke”. Merauke nama kota di Papua bagian selatan. Sabang berasal dari bahasa Aceh, “saban”, yang artinya sama rata. Sedangkan Weh juga dari bahasa Aceh yang artinya memisahkan diri. Versi lain yang diceritakan di sabangkota.go.id menyebut Sabang mungkin berasal dari bahasa Arab, shabag, yang artinya gunung meletus.
Sedangkan Merauke menjadi nama karena selip lidah orang Belanda. Saat awal abad ke-20 ada orang Belanda tiba di muara Sungai Maro. Kapalnya dihampiri oleh perahu orang-orang Marind, suku terbesar di Papua bagian selatan.
Mengutip buku Sejarah Gereja Katolik di Irian Selatan, Agapitus Batbual –wartawan yang tinggal di Merauke—memberi tahu saya bahwa Merauke berasal dari kata “maro” dan “ke”. Dari atas kapal, orang Belanda itu menunjuk ke sungai, lalu dijawab orang Marind, “Maro ke.” Artinya Sungai Maro. Orang Belanda pun selip lidah dengan mengucapkannya sebagai Merauke. Tak ada arti khusus untuk nama ini, tapi suku Marind disebut sebagai suku yang mandiri, ditakuti oleh suku-suku lain.
Lima pulau besar itu memiliki nama-nama lama. Apa nama lama dari Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua itu?
Di masa Hindu-Buddha, Sumatra dikenal sebagai Swarna-Dwipa (Pulau Emas), Jawa dikenal sebagai Java-Dwipa (Pulau Jawa). Tapi, dua pulau ini pada awalnya hanya dijuluk dengan satu nama, yaitu Java-Dwipa saja.
Kalimantan dikenal sebagai Java-Koti (Ujung Jawa), lantaran lokasinya jika dilihat dari India, berada di sebelah timur Pulau Jawa (Sumatra-Jawa). Bunyi Koti, mirip dengan bunyi Kutai, lokasi kerajaan Kutai Hindu di abad kelima dengan Kudungga sebagai rajanya.
Menurut CA Mees, Kalimantan sempat disebut juga sebagai Nusantara, dari “nusa antara” (pulau tengah). Sebuat “nusa antara” untuk Kalimantan ini muncul sebelum zaman Majapahit menggunakannya untuk menyebut “pulau-pulau luar”. Marco Polo menyebut Kalimantan sebagai Jawa Mayor, dan menyebut Sumatra sebagai Jawa Minor. Lalu, Jawa Mayor itu lebih dikenal sebagai Borneo, seperti yang dijelaskan oleh Wilfred T Neill dari Universitas Columbia, Amerika Serikat:
Bagi para penjelajah Eropa awal, pendekatan mereka terhadap nama-nama tempat dilakukan dengan santai, beberapa di antaranya diterjemahkan dalam beberapa versi atau bahkan ditempatkan di lokasi yang salah. Borneo misalnya, hanyalah versi orang Eropa untuk menyebut Brunei; sedangkan Marco Polo menyebutnya Jawa Mayor dan menyebut Sumatera sebagai Jawa Minor.
Nicolo Conti memiliki penjelasan yang berbeda mengenai Jawa Mayor dan Jawa Minor. Dalam perjalanannya selama 25 tahun, ia tinggal di Jawa selama sembilan bulan, sebelum pulang dan tiba di Italia pada tahun 1444. Ia menyebut Jawa dan Kalimantan sebagai Jawa Minor (kelilingnya 2.000 mil) dan Jawa Mayor (kelilingnya 3.000 mil). Peta tahun 1552 memperlihatkan Jawa Minor (Jawa) membentang dari barat ke timur di sebelah timur Malaqua (Malaka) dan Jawa Mayor (Kalimantan) berada di bawah Jawa Minor. Di sebelah barat Jawa Mayor ada Taprobana Sumatra.
Kalimantan berasal dari bahasa Melayu “kalimantang” yang artinya “tampak bersinar”, yang sudah ada dalam dongeng rakyat. “Sebutan yang bagus untuk sebuah pulau di laut tropis,” ujar Neill.
Di sebelah timur Kalimantan ada pulau Sulawesi. Dongeng yang berkembang, pada saat para penjelajah Portugis tiba di pulau ini, bertemu dengan penduduk yang sedang bekerja. Orang Portugis bertanya kepada penduduk mengenai nama daerah yang ia injak itu sembari memperhatikan parang yang dibawa penduduk.
Penduduk mengira orang Portugis sedang menanyakan alat yang mereka pegang, sehingga jawaban yang mereka ucapkan adalah “sele bessi”, yang artinya parang besi. Jadilah Celebes, dalam ucapan orang Portugis itu. Tapi Neill menyatakan, dongeng “sele bessi” itu dimunculkan hanya untuk merasionalisasi pengucapan yang salah dari Sulawesi. Dalam bahasa Bugis, besi disebut bassi.
Di Sulawesi ini ada kota pelabuhan Makassar. Pada mulanya merupakan pelabuhan bernama Mankasara, terhubung ke Kerajaan Goa dan Kerajaan Tallo. Di sini ada permukiman orang-orang Bajau dari Malaysia utara, yang jika “dilihat” dari Selat Melaka sebagai kampung di ujung pandang. Posisinya yang berada di jalur pelayaran untuk menjangkau kepulauan rempah-rempah lewat Selat Malaka menarik minat Portugis dan Belanda. Belanda menyebutnya sebagai Makassar. Belanda berhasil merebutnya dari Portugis pada 1667.
Di ujung timur ada Papua. Ketika dikuasai Belanda, Papua diperintah dari kota yang diberi nama Hollandia. Kota ini kemudian diubah oleh Indonesia menjadi Sukarnopura, dan terakhir diubah lagi menjadi Jayapura, nama yang dipakai hingga sekarang.
Papua disebut orang Eropa sebagai New Guinea. Belanda menyebutnya Nieuw Guinea. Wilayah Papua bagian barat yang dikuasai Belanda diberi nama Nederlandsch Nieuw Guinea. Pada tahun 1911, filolog Prancis Antione Cabaton menyinggung asal-usul nama Papua di buku Java, Sumatra and Other Islands of The Dutch East Indies:
Etnis Papua (dari bahasa Melayu pua-pua yang artinya “orang yang berambut keriting”) ditemukan di Pulau Nugini dan juga, sampai batas tertentu, di Pulau Waigeo, Salawari, dan Aru, sedangkan kelompok yang masih berkaitan dengan etnis Papua mendiami Pulau Buru, Seram, Kei, dan Tanimbar dan diduga merupakan keturunan dari orang Papua. Pribumi asal Papua juga bisa ditemukan di Maluku, Timor, dan Flores.
Pada tahun 1950-an, ketika Parlemen Belanda mengunjungi Nederlandsch Nieuw Guinea, ada usulan agar namanya diganti Irian. Tapi Parlemen Belanda tidak menyetujuinya dengan alasan usulan nama Irian hanya datang dari masyarakat yang sudah dekat dengan Indonesia. Sedangkan masyarakat lainnya menginginkan nama Papua.
Oleh mereka yang menginginkan nama Irian, Papua disebut memiliki arti yang merendahkan (Leeuwarder Courant, 30 Januari 1954). Papua, menurut catatan Neill, artinya kribo. Papua adalah sebutan yang diberikan oleh orang Maluku kepada penduduk Nieuw Guinea itu. Tapi, bagi para pendukung nama Papua, Papua memiliki arti yang lebih tinggi dibandingkan arti Irian. “Irian bisa berarti dengki, mungkin mengacu pada suku di New Guinea yang sangat memusuhi penyusup,” tulis Neill.
Menurut Toni Victor M Wanggai dalam disertasinya berjudul Rekonstruksi Sejarah Umat Islam di Tanah Papua, Papua menjadi wilayah Kesultanan Tidore. Karena wilayahnya terpisah dari Tidore, maka Sultan Tidore menyebutnya Papo Ua, yang artinya tidak tergabung.
Dari penelusuran pustaka, Toni Victor M Wanggai mendapatkan, nama Papua sudah dikenal sejak awal abad ke-16. Pelaut Portugis pada awal abad ke-16 menyebutnya sebagai Os Papuas dan Ilha de Papo. Pelaut Spanyol menyebutnya Isla de Oro yang artinya Pulau Emas. Nama New Guinea diberikan karena penduduknya sama dengan penduduk Guinea di Afrika bagian barat.
Ketika Belanda datang di Papua, menurut Toni Victor M Wanggai, kata Papua yang diasosiasikan hitam, bodoh, keriting, dipakai oleh guru-guru dan aparat Belanda untuk menghina orang Papua. New Guinea dalam bahasa Belanda menjadi Nieuw Guinea. Ketika dikuasai oleh Belanda, menjadi Nederlandsch Nieuw Guinea.
Pada masa Sriwijaya, menurut Toni Victor M Wanggai, Papua disebut Janggi. Sriwijaya sering menghadiahi kaisar Cina dengan burung-burung dari Janggi. Musafir Cina menyebut Janggi dengan ejaan Tung-ki.
Dalam struktur pemerintahan kolonial Hindia Belanda, wilayah Papua masuk wilayah gupernemen Maluku yang memiliki tiga wilayah administratif: Karesidenan Ternate, Karesidenan Ambon, dan Karesidenan Nugini Selatan (Zuid Nieuw Guinea). Papua bagian utara hingga wilayah Fakfak masuk ke dalam Karesidenan Ternate. Sedangkan wilayah Papua bagian selatan masuk ke dalam Karesidenan Nugini Selatan yang beribu kota di Merauke.
Ketika pada tahun 1963 bergabung dengan Indonesia, nama Irian Barat dipakai untuk menyebut provinsi paling timur itu. Frans Kasiepo (gubernur Irian Barat 1964-1973) pada 16 Juli 1946 menyebut nama Iryan di Konferensi Malino. Nama itu menurut Josh Robert Mansoben yang dikutip Toni Victor M Wanggai dari disertasi Mansoben di Univeritas Leiden, diusulkan oleh Markus Kasiepo. Iryan adalah legenda di Biak yang bercerita mengenai masa baru Biak. Iryan artinya proses memanas. Biak memang daratan yang panas. “Iri” artinya tanah, “an” atinya panas. Frans Kasiepo lahir di Biak. Irian dalam bahasa Biak juga berarti “sinar yang menghalau kabut”.
Di Serui “iri” artinya tiang, “an” artinya bangsa, bisa disebut sebagai tanah air atau ting bangsa. Oleh pejuang Merah Putih seperti Silas Papare dan Marthen Indey, Irian lalu dipolitisasi menjadi Ikut Republik Indonesia Anti-Nederland. Di Merauke “iri” artinya tinggi, dan “an” artinya bangsa. Irian, bangsa yang tinggi. Dalam kalimat antropolog Koentjaningrat, Irian dalam bahasa Merauke itu diartikan sebagai bangsa utama.
Nama Irian Barat dipakai sampai dengan 1973. Oleh Presiden Soeharto diganti menjadi Irian Jaya saat meresmikan tambang Freeport pada 1 Maret 1973. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua mengamanatkan penggantian nama Irian Jaya menjadi Papua.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Adventuring In Indonesia karya Holly S Smith (1997)
Jawa Tempo Doeloe, 650 Tahun Bertemu Dunia Barat 1330-1985 karya James R Rush (2023, diterjemahkan dari Java A Travellers’ Anthology terbit 1996)
Rekonstruksi Sejarah Umat Islam di Tanah Papua disertasi Toni Victor M Wanggai di UIN Syarif Hidayatullah (2008)
sabangkota.go.id
Sejarah Gereja Katolik di Irian Selatan karya Keuskupan Agung Merauke (1999)
Sejarah Super Lengkap Hindia Belanda karya A Cabaton (2019, diterjemahkan dari Java, Sumatra and Other Islands of the Dutch East Indies terbit 1911)
Twentieth-Century Indonesia karya Wilfred t Neill (1973)