Bendera Pusaka Merah Putih yang Disimpan di Monas, Hasil Jahitan Fatmawati atau H Mutahar?
Pukul 05.30 pada Ahad, 19 Desember 1948, Belanda membombardir Yogyakarta. Istana tempat Sukarno tinggal juga dikepung. Sukarno menyerah, Belanda menguasai Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia setelah pindah dari Jakarta.
Oohya! Baca juga ya:
Upacara 17 Agustus di Genangan Rob, Warga Timbulsloko Bacakan Proklamasi Mimpi-Mimpi Kami
Monako Meminta Indonesia Ganti Bendera Merah Putih, Begini Penjelasan Muh Yamin
Kata Muh Yamin pada 1951, Merah-Putih Sudah Ada di Nusantara Sejak 6.000 Tahun Lalu
Kasus Youtuber dan Pengendara Lawan Arus, 78 Tahun Merdeka Masih Banyak yang Berkendara Lawan Arus
Sukarno-Hatta akan dibuang Belanda ke Sumatra. Sukarno memberi perintah kepada ajudannya, H Mutahar, untuk menyelamatkan bendera Merah Putih. Sukarno membawa bendera itu dari Jakarta dan menyimpannya di koper besi.
Ia tak ingin bendera yang pertama kali dikibarkan pada Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu disita Belanda. Kepada Mutahar, ia berpesan, harus diserahkan kembali kepada dirinya jika masih ada umur, atau kepada orang yang menggantikannya jika Sukarno dibunuh Belanda.
Bagaimana Mutahar menyimpannya? Memenuhi pesan Sukarno, ia tak ingin bendera itu diketahui wujudnya sebagai bendera. Maka, ia buka jahitannya, sehingga menjadi dua lembar kain: merah dan putih. Kain putih ia sembunyikan di dalam baju, kain merah ia masukkan ke tas pakaian.
Mutahar tetap di Yogyakarta ketika Sukarno dibuang ke Prapat, Sumatra Utara, bersama H Agus Salim dan Sjahrir. Sedangkan Hatta dibuang ke Bangka. Pada akhir Januari 1949, Sukarno dipindah ke Bangka.
Pada 6 Juli 1949, Belanda memulangkan Sukarno ke Yogyakarta. Selama Sukarno dan Hatta dibuang, ada perundingan-perundingan dengan Belanda, yang berujung pada pengakuan resmi kemerdekaan oleh Belanda. Pertemuan Roem-Royen, bahkan dilakukan di meja dapur di rumah tempat Sukarno dijadikan tahanan di Muntok, Bangka. Pertemuan itu berujung penyelenggaraan Konferensi Meja Bundar. Belanda bersedia mengakui kemerdekaan dengan syarat Indonesia menerima limpahan utang Hindia Belanda sebesar 1,130 miliar dolar.
Setelah pada 27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, esok harinya, 28 Desember 1949, Sukarno pun terbang dari Yogyakarta menuju Kemayoran, Jakarta. Pesawat KLM yang ia tumpangi, badan pesawatnya sudah digambari Garuda. Pesawat KLM itu sudah menjadi milik Garuda Indonesia Airways pada 27 Desember 1949.
Turun dari pesawat, yang pertama keluar adalah pengawal kehormatan yang mengiring Sang Saka Merah Putih. Bagaimana bendera itu kembali ke tangan Sukarno? Saat di Bangka, Sukarno mengirim surat kepada Mutahar, meminta bendera dititipkan ke R Soedjono, sekretaris delegasi Indonesia untuk perundingan dengan Belanda. Soedjono akan berangkat ke Bangka.
Mutahar menjahit kembali bendera itu, menyatukan kain merah dan putih. Jahitannya mengikuti lubang-lubang bekas jahitan tangan yang dibuat oleh Fatmawati. Mutahar kemudian menyerahkan bendera hasil jahitannya itu dengan dibungkus koran.
Pada 17 Agustus 1950 untuk pertama kalinya, Merah Putih berkibar di Istana Merdeka di tiang setinggi 17 meter. Itulah bendera hasil jahitan ulang H Mutahar. Mutahar dikenal sebagai pencipta lagu “Syukur” dan pembina pasukan pengibar bendera pusaka. Bendara pusaka itu kini tak lagi dikibarkan, disimpan di Ruang Kemerdekaan Monas.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams (1986)