Kata Tabrani, Tidak Mau Tahu Bahasa Indonesia Berarti Punya Telinga tetapi tidak Mendengar!
Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang baru, memunculkan keadaan baru di Indonesia.
Pada 1938, Tabrani mencapai puncak kejengkelan akibat penolakan-penolakan terhadap bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang baru, dengan bahasa ini bangsa Indonesia memasuki keadaan baru. “Poera-poera tidak maoe tahoe dengan bahasa Indonesia berarti: mempoenjai telinga tetapi tidak mendengar!” kata Tabrani.
Orang-orang yang tinggal di Indonesia, menurut Tabrani, harus menyesuaikan dirinya dengan keadaan baru itu. Pada 1923, tiga tahun sebelum Tabrani mencetuskan nama bahasa Indonesia, Agus Salim berpidato di sidang Volksraad menggunakan bahasa Melayu. Tapi, menurut Hatta di buku Hadji Agus Salim Pahlawan Nasional yang terbit pada 1965, Agus Salim berpandangan “bahwa bangsa tidak ditentukan oleh bahasa”. Itulah sebabnya, sehari-hari Agus Salim menggunakan bahasa Belanda, “untuk mempersingkat jalan pendidikan”.
Ketika Tabrani melahirkan bahasa Indonesia, ia juga tak hendak menyingkirkan bahasa Belanda, karena bahasa Belanda masih diperlukan bangsa Indonesia untuk meraih pendidikan dan pengetahuan. Tapi, mayoritas penduduk Indonesia tidak bisa berbahasa Belanda, sehingga ia perlu menerbitkan bahasa persatuan bahasa Indonesia itu.
Pada saat itu, pengguna bahasa Indonesia tak peduli dengan aturan bahasa. Mau bicara ya bicara saja. Berbagai bahasa digunakan dalam kalimat-kalimat mereka. Mau menulis, ya menulis saja. Tidak mengenal aturan harus dimiringkan atau diberi tanda petik untuk kata-kata asing. Bahasa campuran itulah yang dianggap Tabrani sebagai bahasa Indonesia. Pun Tabrani tidak menganggapnya sebagai bahasa Melayu. Di sinilah muncul potensi: bahasa Indonesia dianggap sebagai bahasa yang kacau.
Tabrani menyadari kondisi. Ia meyakini akan ada tentangan kuat terhadap bahasa Indonesia. Terlebih, pemerintah kolonial Belanda sejak awal abad ke-20 sudah rajin mempromosikan bahasa Melayu. Muh Yamin, Agus Salim, Adinegoro, dan Parada Harahap yang menentang bahasa Indonesia, adalah pengguna bahasa Melayu. Hanya G Astrohadikoesoemo, penentang yang pengguna bahasa Jawa.
Oohya! Baca juga ini ya: Bukan Hanya Muh Yamin. Agus Aalim, Adinegoro, dan Parada Harahap pun Pernah Menolak Bahasa Indonesia.
Sanusi Pane yang juga pengguna bahasa Melayu, sejak awal mendukung Tabrani dalam penerbitan bahasa Indonesia, dan hingga 1940-an masih membela bahasa Indonesia. Sanusi Pane juga menegaskan bahwa bahasa campuran yang sehari-hari digunakan bangsa Indonesia bukan bahasa Melayu, melainkan bahasa Indonesia.
Tapi, Sutan Takdir Alisjahbana memiliki pemikiran lain. Bahasa Indonesia yang dilahirkan oleh Tabrani secara etimologi adalah bahasa Melayu. Bahasa Melayu, menurut Agus Salim, sudah berumur tua dan masih hidup di masyarakat dengan segala perkembangannya. Karenanya, ia mengkritik politisi yang terlibat dalam pengembangan bahasa Indonesia, tapi sehari-hari mereka tetap berbahasa Belanda. Kasarnya, jangankan membuat bahasa baru, bahasa yang lama --bahasa Melayu— saja mereka abaikan karena mereka merasa lebih bergengsi menggunakan bahasa Belanda.
Saat memunculkan nama bahasa Indonesia, Tabrani menyadari akan muncul pergunjingan soal bahasa lama bahasa baru ini. Penganut yang lama menentang yang baru. Karena itu, pada 1938, Tabrani menegaskan bahwa orang-orang yang tinggal di Indonesia harus mencocokkan dirinya dengan keadaan yang baru. Kelahiran bahasa Indonesia merupakan hasil dari proses menjalani keadaan baru. Oleh karena itu, kata Tabrani, orang-orang yang tinggal di Indonesia juga harus mau mengakui bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Kata Tabrani di Pemandangan edisi 29 November 1938:
Menilik feiten, keadaan demikian itoe, siapa sadja (teroetama pihak Belanda) jang bertempat tinggal disini haroes pandai mentjotjokkan diri dengan keadaan baroe itoe. Poera-poera tidak maoe tahoe dengan bahasa Indonesia berarti: mempoenjai telinga tetapi tidak mendengar!
Priyantono Oemar