Gaya Hidup Anak-Cucu Sultan Agung Ditiru Pejabat Kolonial di Batavia
Gaya hidup anak-cucu Sultan Agung ternyata ditiru oleh pemerintah kolonial di Batavia. Bahkan, Gubernur Jenderal Kompeni Rijklof van Goens yang menjabat pada 1678-1681 membuat aturan mengenai hak milik pribadi pejabat kolonial dan keluarganya.
Ia menjadikan model hierarki di Jawa dan Jepang sebagai model bagi pejabat kolonial untuk panjat sosial (pansos) melalui jabatan dan prestasi mereka. Kereta kuda dan perhiasan seperti berlian, permata, mutiara, dan emas diperbolehkan digunakan.
Tapi tidak semua pejabat dan keluarganya boleh memilikinya. Pejabat rendah, misalya, tak diizinkan memiliki kereta kuda.
Oohya! Baca juga ya:
Perlawanan Budak di Masyarakat Kolonial Batavia, Untung Suropati Jadi yang Paling Terkenal
Van Goens pernah menjadi kepala perdagangan Kompeni dan empat kali menjadi utusan Kompeni ke Mataram. Mendatangi Mataram tentu tidak dengan tangan kosong.
Hadiah mahal disediakan oleh para utusan dari tahun ke tahun untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup raja dan para pangeran di Mataram. Bahkan, hadiah-hadiah pun diberikan kepada para penguasa negeri bawahan Mataram, tentu saja dilakukan tanpa sepengetahuan Raja Mataram.
Van Goens datang pertam akali di Mataram pada 1648, dua tahun setelah anak Sultan Agung, Amangkurat I, naik tahta. Ia membuat peraturan mengenai hak milik pada masa Mataram dipimpin oleh cucu Sultan Agung, Amangkurat II.
Maka, ia lalu membolehkan istri dan keluarga pejabat memakai berlian, mutiara, emas, perak, permata, dan perhiasan lainnya sebagai pelengkap penampilan. Izin kepemilikan itu ditentukan berdasarkan pangkat.
Pejabat rendah, misalnya, tidak diizinkan memiliki kereta kuda. Saat itu, kuda menjadi salah satu hadiah yang harus selalu disediakan untuk Raja Mataram. Kudanya pun kuda Persia.
Oohya! Baca juga ya:
Selain itu, hadiah berupa kain, pakaian, berlian, permata juga sangat diinginkan oleh raja-raja Mataram anak-cucu Sultan Agung itu. Barang yang dimiliki oleh raja tentu saja menjadi tidak boleh dimiliki oleh pangeran-pangeran atau pejabat bawahannya.
Maka, Pangeran Pekik di Surabaya, misalnya, meski ia mertua Amangkurat I, tetapi ia merasa tak berhak memiliki ayam bekisar yang sangat indah bulunya. Karenanya, ayam bekisar itu lalu ia persembahkan kepada Amangkurat I dengan suasana yang formal.
Hadiah-hadiah dari Kompeni, tidak semuanya inisiatif dari Kompeni. Ada juga yang disediakan berdasarkan permintaan.
Sebagai imbalan, Kompeni akan menerima pasokan beras atau kayu dari Mataram. Dan juga, berbagai fasilitas lain yang memungkinkan Kompeni menjalankan perdagangan di Jawa.
Penguasa Pati Ngabei Martonoto pernah meminta hadiah atas nama Amangkurat I, berupa unta dan bokrom lasker. Pejabat Kompeni yang menerima permintaan itu tak paham dengan yang dimaksud hewan bokrom lasker itu, Kompeni lalu mengirimkan dua lembu berikut keretanya.
Betapa senangnya anak Sultan Agung itu dengan hadiah kereta yang ditarik hewan seperti sapi itu. Kereta lembu itu melengkapi gaya hidup Amangkurat I.
Oohya! Baca juga ya:
RA Kartini tak Suka Buku Java, tapi Ia Mau Membaca tanpa Jeda Jika Suka
Ia menggunakannya untuk bepergian dari istana ke Segarayasa. Segarayasa adalah danau buatan yang ia bangun mengelilingi istana, sebagai tempat ia bermain perahu.
Empat kali menjadi utusan Kompeni sebelum ia menjadi gubernur jenderal. Maka, Van Goens paham betul mengenai gaya hidup raja dan pangeran Jawa.
Karena itulah ia juga membolehkan pejabat kolonial di Batavia pamer kekayaan di depan publik. Hal itu dilakukan bukan karena saling iri antarpejabat dan keluarganya.
Bukan pula karena ada masalah dengan pelancong yang datang dengan perhiasan mewah. Namun, karena perlunya ada kesamaan hak sesama pejabat kolonial.
“Dengan model hierarki Jawa dan Jepang sebagai model mereka, para pejabat Batavia mengemukakan pangkat dan keterangan prestasi untuk naik tangga masyarakat VOC ataupun masyarakat umum yang bebas,” ujar Jean Gelman Taylor.
Oohya! Baca juga ya:
Jacob Mossel memperteguh hal yang sudah dirintis oleh Van Goens tujuh dekade kemudian. Mossel menjadi gubernur jenderal pada November 1750.
tapi Mossel membuat aturan berdasarkan kesombongan pribadi. Peraturannya itu memakan korban.
Pensiunan pejabat menengah harus melepas semua barang-barang emas dan perak serta kereta kuda yang mereka punyai. Mereka tak boleh menikmatinya sebagai kebanggaan yang sebelumnya boleh mereka miliki.
Pejabat-pejabat di bawah gubernur jenderal yang masih berhak memiliki kereta kuda juga harus memecat kusir-kusir bangsa Eropa. Mereka tak bisa lagi memiliki gaya hidup dengan mempekerjakan orang Eropa.
Kusir berkebangsaan Eropa hanya dibolehkan dipekerjakan di kalangan pejabat terbatas. Hanya gubernur jenderal dan anggota Dewan Hindia beserta keluarga dan jandanya yang berhak menggunakan kusir kereta kuda berbangsa Eropa.
Lantas, bagaimana gaya keturunan Sultan Agung di abad ke-18 itu?
Ma Roejan
Sumber rujukan:
- Disintergrasi Mataram di Bawah Mangkurat I, karya Dr HJ de Graaf (1987)
- Kehidupan Sosial di Batavia, karya Jean Gelman Taylor (2009)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]