Pitan

Ini Alasan Kakek Sultan Agung Rebut Keraton Ayah Angkat di Pajang

Panembahan Senopati, kakek Sultan Agung hendak merebut keraton ayah angkat di Pajang. Apa alasan membuatnya melakukan hal itu?

Tumenggung Mayang adalah putra Adipati Pajang sebelum Joko Tingkir. Semasa Joko Tingkir menjadi adipati, kehidupan Tumenggung Mayang dipersulit oleh keraton, lalu mencari perlindungan kepada Ki Ageng Pemanahan di Mataram.

Tumenggung Mayang kemudian tinggal lagi di Mayang, Pajang, setelah dinikahkan dengan putri Ki Ageng Pemanahan. Berarti ia menjadi adik ipar Sutowijoyo, yang kelak menjadi kajek Sultan Agung 

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Sutowijoyo melakukan perlawanan terhadap sang ayah angkat, Joko Tingkir, ketika adik iparnya hendak dibuang ke Semarang. Sutowijoyo melakukan itu ketika dirinya sudah menjadi Adipati Mataram. 

Oohya! Baca juga ya:

Ikut Garebek (Grebeg) Besar di Demak Disebut Setara dengan Naik Haji, Lho Lho Lho Bagaimana Urusannya?

Mengapa Tumenggung Mayang dibuang oleh Sultan Pajang Joko Tingkir? Karena ia membantu anaknya memikat putri  Sultan Pajang.

Setelah pernyataan cintanya melalui bunga kering diterima putri Joko Tingkir, anak Tumenggung Mayang menyelinap ke keraton tengah malam. Tumenggung Mayang membantunya.

Dayang-dayang putri Joko Tingkir melaporkan kelakuan anak Tumenggung Mayang. Sebanyak 22 prajurit dikerahkan untuk menggerebek, hingga anak Tumenggung Mayang menemui ajalnya.

Sultan Pajang kemudian menghukum Tumenggung Mayang dengan membuangnya ke Semarang. 1.000 prajurit mengantarnya.

Ohya! Baca juga ya:

Siapa Keturunan Sahabat Ayah Kakek Sultan Agung yang Jadi Raja Mataram?

Istri Tumenggung Mayang meminta bantuan kepada kakek Sultan Agung. Prajurit Mataram dikerahkan untuk mrngejar rombongan Pajang yang membawa Tumenggung Mayang ke Semarang.

Mereka bertemu di dekat Ungaran. Pertempuran membuat banyak prajurit Pakang yang tewas. Tumenggung Maya g diselamatkan ke Mataram.

Prajurit Pajang yang selamat melapor ke Suktan Pajang. Sultan Pajang semakin yakin jika anak angkat yang menjadi adipati Mataram benar-benar memberontak kepada  Pajang.

Sebelumnya, Sultan Pajang sudah menduga ada upaya Sutowijoyo hendak menjadi raja. Ia membangun benteng, sering menjamu para tamu, dan menolak menghadap ke Pajang.

Setelah pemberian hukuman terhadap Tumenggung Mayang dihalang-halangi Sutowijoyo, Joko Tingkir menyiapkan pasukan untuk menyerang Mataram.

Kakek Sultan Agung pun menyiapkan diri. Bersama pamannya Ki Juru Martani yang menjadi patih dengan nama Ki Mandaraka, kakek Sultan Agung menyiapkan kayu-kayu di atas bukit.

Oohya! Baca juga ya:

Diponegoro Seharusnya Berbahagia, tapi Ia Nelangsa Amat di Hari Lebaran Kali Ini

Kayu itu kemudian dibakar dan bende dipukul bertalu-talu. Dari atas bukit dilempar batu-batu besar.

Api terus menyala. Batu terus berjatuhan. Pasukan Pajang mengira Gunung Merapi sedang meletus.

Pasukan Pajang kocar-kacir. Sultan Pajang pun ikut lari menyelamatkan diri.

Dari Prambanan, Joko Tungkir lalu pulang ke Pajang. Ia itidak langsung menuju keraton, melainkan ke makam Sunan Tembayat.

Tapi Joko Tingkir tidak mampu membuka pintu makam. Ini pertanda buruk bagi Joko Tingkir, sehingga membuat hatinya terguncang.

Oohya! Baca juga ya:

Kapan Lebaran Idul Fitri Pernah Berbeda?

Esok hari, pulang dari Tembayat, Joko Tingkir juga jatih dari gajah. Ia garus ditandu sampai di Pajang.

Sakit Joko Tingkir semakin parah, kakek Sultan Agung memerintahkan abdinya membeli kembang selasih dalam junlah yang banyak. Kembang itu lalu ditunpuk di pintu alun-alun Pajang.

Ayah angkat belum meninggal, tapi kakek Sultan Agung sudah mengirim bunga sebagai tanda duka? "Ini dapat juga dianggap sebagai ejekan dari Senopati," ujar Dr HJ de Graaf.

Akhirnya, Joko Tingkir memang meninggal setelah sakit akibat jatuh dari gajah itu. Tapi kakek Sultan Agung tidak lantas merebut keraton milik sang ayah angkat.

Sunan Kudus menobatkan menantu Joko Tingkir, Adipati Demak menjadi sultan yang baru di Pajang. Putra mahkota, Pangeran Benowo yang merupakan santri Sunan Kalijaga, tidak direstui oleh Sunan Kudus,

Ma Roejan

Sumber rujukan:
- Awal Kebangkitan Mataram, karya Dr HJ de Graaf (1987)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]