Pakai Baju dari Sunan Kalijaga, Kakek Sultan Agung tak Kena Peluru dan Kuda yang Ditunggangi Tetap Tegak Berdiri Meski Sudah Mati
Kuda yang ditunggangi Panembahan Senopati terkena berondongan peluru dari pasukan Ponorogo. Berondongan peluru yang mengarah kepada Panembahan ditangkis dengan ujung tombak.
Terkena tembakan, kuda yang ditunggangi kakek Sultan Agung itu bergeming. Ki Mandaraka yang bersamanya mengamuk dengan sabetan cemeti dan tombak, banyak yang mati terkena sabetan cemeti.
Senopati tetap gagah duduk di atas kudanya menggunakan baju antakusuma pemberian dari Sunan Kalijaga. “Hai Senopati, kuda itu sudah mati, kenapa kau tunggangi juga,” kata Ki Mandaraka.
Oohya! Baca juga ya: Ayah Sultan Agung yang Muda yang Menjadi Raja, Anak Presiden yang Muda yang Menjadi Cawapres
Senopati gusar dengan teguran Mandaraka yang bernada nyinyir itu. Senopati tahu jika kuda yang ia tunggangi sudah mati sejak siang, tapi baru turun dari kuda setelah mendapat teguran dari Mandaraka.
Begitu ia turun, kuda itu langsung roboh. Kakek Sultan Agung pun berwasiat jangan ada anak cucu yang menunggangi kuda dengan bulu berwarna abu kekuningan agar tidak mengalami seperti dirinya.
Kuda Senopati itu diber nama Puspakencana. Badannya tinggi besar dan kuat.
Orang Ponorogo yang dikalahkan oleh Senopati pun mengutuk orang Madiun yang mengajak orang Ponorogo melawan Mataram. Sebelum menaklukkan Ponorogo, Senopati terlebih dulu menaklukkan Madiun.
Senopati mendapat dukunan pasukan dari Demak, Pati, Grobogan, Kendal, Semarang, Kalinyamat. Sebelum menyerbu Ponorogo, Senopati disarankan oleh Mandaraka menemui Sunan Kalijaga untuk meminta baju antakusuma.
Mandaraka menjelaskan kepada Senopati bahwa Sultan Demak dan Sultan Pajang pernah meminta baju itu, tetapi Sunan Kalijaga tidak pernah memberikannya. Baju itu dibuat dari kalin mori yang diklaim pernah digunakan bersujud oleh Nabi Muhammad.
Oohya! Baca juga ya:
Grobogan Banjir, Desember 1955 Ada Pemilu, Mengapa Residen Semarang Kirim Perahu Motor?
Ketika SUnan Kalijaga menjahitnya mennadi baju, Sunan Bonang mempertanyakannya. Menurut Sunan Kalijaga, kelak baju itu akan dipakai oleh raja penguasa Tanah Jawa.
“Senopati, jika baju itu kau minta kemudian diberikan, itu merupakan petunjuk apa yang kamu inginkan akan terkabul,” ujar Mandaraka kepada Senopati.
Ketika Senopati menemui Sunan Kalijaga dan meminta baju antakusuma itu, Sunan Kalijaga pun bependapat jika sebaiknya Senopati memakainya. Oleh karena itu, Sunan Kalijaga pun memberikan baju itu kepada kakek Sultan Agung itu.
Senopati pun berterima kasih dengan mencium kaki Sunan Kalijaga. Ia juga akan mematuhi nasihat Sunan Kalijaga, tidak akan memakainay sebelum bersuci.
Rupanya, baju antakusuma itu yang membuat Senopati terhindar dari berondongan peluru pasukan Ponorogo. Karena baju itu pula, kuda yang ditunggangi Senopati tetap berdiri tegak kendati sudah mati terkena berondongan peluru.
Setelah merebut Ponorogo, Adipati Pati yang membantu Senopati meminta pamit untuk pulang terlebih dulu. Senopati tidak mengizinkannya, tetapi Adipati Pati bersikeras untuk pulang terlebih dulu.
Oohya! Baca juga ya:
300 Ribu Murid SMK dari Keluarga Rentan akan Dilatih AI oleh Plan Indonesia dan Microsoft
Senopati pun kemudian berujar kepada para bupati dan Mandaraka, bahwa dengan sikap Adipati Pati seperti itu, kelak Adipati Pati akan memusuhi Mataram. Ketika Mandaraka menanyakan penyebabnya, Senopati menjawab bahwa itu sudah suratan takdir.
Setelah menaklukkan Pasuruan, Senopati masih harus menaklukkan Pasuruan. Itulah sebabnya, Senipati melarang Adipati Pati pulang leih dulu.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Babad Tanah Jawi II, penerjemah Amir Rokhyatmo dkk, penyunting Sapardi Djoko Damono dan Sonya Sondakh (2004)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
oohya.republika@gmail.com