Amangkurat I di Masa Tua Keluarkan Banyak Uang untuk Selir-Selir yang Muda dan Cantik di Mataram
Lahir pada 1619, Raja Mataram Amangkurat I berarti baru berusia 55 tahun pada 1674. Tapi, utusan Kompeni menyebutnya sebagai sudah agak lanjut usia.
Di masa tua itu, selir-selir yang ada tidak sesuai selera hati Amangkurat I, sehingga mendorong orang-orang Mataram mencari perempuan-perempuan yang masih muda dan cantik untuk dijadikan selir. Tapi, untukmendapatkan selir muda dan cantik, biayanya tidak murah.
Untuk membiayai selir-selir itu, menurut catatan Belanda, Amangkurat harus mengeluarkan uang yang jumlahnya hampir menyamai seluruh pendapatannya. Biaya per selir bisa mencapai 10 ribu riyal, bahkan lebih.
“Biasanya wanita-wanita itu dipelihara beberapa waktu, dan kemudian dihadiahkan kepada seorang pejabat istana dengan sejumlah uang pesangon,” tulis Dr HJ de Graaf.
Oohya! Baca juga ya:
Apakah Moh Husni Thamrin Disuntik Mati oleh Belanda?
Amangkurat I meninggal pada 1677, tapi di pengujung usianya ini, Amangkurat I semakin boros hidupnya. Tak hanya mencari selir-selir yang mud adan cantik, Amangkurat I ternyata juga banyak belanja untuk menjaga penampilannya.
Padahal Mataram sedang mengalami kesulitan pangan. Beras yang tersedia tak mencukupi kebutuhan pada 1675. Pada 1674 ia jual dua ekor kudanya yang sudah tua beserta 40 kuintal beras untuk dipakai membeli bebagai macam tekstil dari luar negeri.
Lalu, pada 1675 ia mengirim penguasa pesisir utara ke Patani untuk membeli gajah. Padahal, pada tahun-tahun 1674-1675 ini Amangkurat I sudah tidak banyak tinggal di keraton, tidak lagi bepergian karena kondisinya yang sudah lemah.
“Jawa Tengah dari tahun 1674 sampai tahun 1676 parah dilanda kekurangan beras,” tulis De Graaf.
Oohya! Baca juga ya:
Kekurangan beras itu terjadi karena salah musim. Hujan turun pada waktu yang tidak semestinya. Selain itu, Gunung Merapi yang meletus pada 1672, yang dampaknya pada hasil panen terasa pada tahun-tahun berikutnya.
Bagaimana orang-orang Mataram mencari selir yang muda dan cantik untuknya? Salah satu cara yang dilakukan adalah menculik istri orang.
Pada 1674, misalnya, istri kedua putra Ki Wiraatmaka diculik untuk diserahkan kepada Amangkurat I. Istri kedua putra Ki Wiraatmaka itu masih muda dan cantik.
Amangkurat I tercatat memiliki banyak selir. Ketika permaisurinya meninggal pada 1660-an, Amangkurat I mengurung 43 selirnya. “Ditahan di suatu tempat tertentu tanpa diberi makan atau minum, dan siapa saja yang kelaparan,” tulis De Graaf mengutip catatan Belanda.
Dari 43 selir itu, ada 350 dayang yang mengabdi kepada selir-selir itu. Nasib mereka juga sama dengan nasib 43 selir itu.
“Jika beberapa orang di antara istri atau selirnya yang tercantik menjadi sedih atau sakit, atau meninggal, maka semua dayang mereka atas perintah raja tidak hanya dibunuh, tetapi banyak di antara mereka juga dikuburkan hidup-hidup di sebelah makam permaisurinya,” tulis De Graaf, masih mengutip catatan Belanda mengenai kehidupan Amangkurat I.
Oohya! Baca juga ya:
Setelah permaisuri meninggal, Amangkurat I minta dicarikan pengganti yang layak. Maka, beberapa perempuan anak para pejabat Mataram diculik pada 1668 untuk dipilih oleh Amangkurat I sebagai permaisuri.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Runtuhnya Istana Mataram karya Dr HJ de Graaf (1987)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]