Anak Hamengkubuwono II Terbunuh dalam Perang Membantu Belanda, Apa yang Dilakukan Diponegoro?
Belanda menunjuk Pangeran Murdaningrat dan Pangeran Panular menjadi wali sultan menggantikan Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi. Murdaningrat dan Panular kemudian terbunuh ketika membantu Belanda menyerbu Pangeran Diponegoro di Deksa.
Pada 30 Juli 1826, Pangeran Mangkubumi mengirimkan surat kepada Hamengkubuwono II. Isi suratnya menjelaskan duduk perkara terbunuhnya Murdaningrat, anak dari Hamengkubuwono II; dan Panular, anak dari Hamengkubuwono I.
Pengepungan Deksa dilakukan Belanda pada 8 Juli 1826. Tetapi, saat lokasi persembunyian Diponegoro di Deksa dikepung, Diponegoro dan pasukannya sudah pergi sebeluam Belanda datang.
Oohya! Baca juga ya:
Pada 28 Juli 1826, ketika Belanda masih mencari lokasi persembunyian Diponegoro di sekitar Deksa, mereka disergap oleh pasukan Diponegoro. Sentot Prawirodirjo dan Prawirokusumo memimpin penyergapan itu.
Saat itu, pasukan Diponegoro berdiri di belakang pagar bambu di sebuah jurang, menunggu pasukan Belanda lewat. Pasukan Belanda datang dengan tenang melewati jurang tempat pasukan Diponegoro bersembunyi.
Ketika pasukan Belanda mendekati lokasi persembunyian, mereka dikagetkan oleh pagar bambu yang dirobohkan dan dari belakangnya muncul pasukan Diponegoro. Mendapat serangan mendadak, membuat pasukan Belanda tidak siap melakukan perlawanan yang berarti.
Di penyergapan inilah Murdaningrat dan Panular mengalami nasib naas. Ikut terbunuh.
Di dalam suratnya yang ditujukan kepada Hamengkubuwono II, Mangkubumi menjelaskan peristiwa peperangan di sekitar Deksa itu. Termasuk menjelaskan posisi Diponegoro dan posisi yang Murdaningrat dan Panular yang mengantar Belanda mencari Diponegoro.
Oohya! Baca juga ya:
“Keadaan itu berlaku karena mereka melanggar aturan: berani melawan kami, sedangkan kami sekali-sekali tidak ada mengandung maksud berperang dengan sanak saudara sendiri,” tulis Mangkubumi seperti dikutip Sagimun MD.
Mangkubumi pun menyatakan harapannya bahwa sudah seharusnya Murdaningrat dan panular mendukung Diponegoro. Memerangi Belanda.
“Kami selalu berharap supaya mereka sesuai dengan perasaan kami dan benci kepada Belanda,” lanjut Sagimun MD mengutip isi surat Mangkubumi.
“Pahlawan Diponegoro beserta kawan-kawan beliau tetap menghormati Sultan Sepuh sebagai orang tuanya, namun perjuangan untuk mengusir penjajahan dan kekuasaan asing yang sewenang-wenang harus diteruskan,” tulis Sagimun MD.
Sia-sia saja harapan Belanda agar Diponegoro melunak setelah Hamengkubuwono II yang juga membenci Belanda dijadikan sultan lagi. “Bahkan perlawanan rakyat makin hebat dan makin bergerlora,” tulis Sagimun MD.
Setelah mengetahui pengangkatan Sultan Sepuh menjadi sultan lagi, bisa saja Diponegoro mengalami dilema. Di satu sisi, Sultan Sepuh sama-sama membenci Belanda, tetapi di sisi lain ia juga harus menunjukkan sikap hormatnya kepada Hamengkubuwono II sebagai sultan Mataram yang sewaktu-waktu bisa saja melunak menuruti keinginan Belanda di usia tuanya itu.
Diponegoro juga harus berhadapan dengan pangeran-pangeran yang mendukung Belanda. Namun, pada akhirnya, semua itu tidak mengendorkan keteguhan hatinya.
Oohya! Baca juga ya:
Diponegoro tetap meneruskan perjuangannya dan sekaligus tetap menyayangi pangeran-pangeran yang mendukung Belanda. Perlawanan Diponegoro terhadap Belanda, bukan terhadap pangeran-pangeran pendukung Belanda.
Sagimun MD lalu menunjukkan bukti lain bahwa musuh Diponegoro bukan pangeran-pangeran yang masih merupakan bangsanya sendiri. Ia menyebut kasus pertempuran yang melibatkan pasukan Mangkunegaran yang mendukung Belanda.
Dalam pertempuran itu, Diponegoro menangkap perwira menantu Mangkunegoro. “Pahlawan Diponegoro melepaskan perwira ini dan menyuruh orang-orangnya mengantarkan perwira remaja itu kembali ke Surakarta,” tulis Sagimun MD.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Pahlawan Dipanegara Berdjuang karya Sagimun MD (1965)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
oohya.republika@gmail.com