Diangkat oleh Napoleon Jadi Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Begini Kelakuan Daendels di Jawa
Kaisar Prancis Napoleon Bonaparte mengangkat Daendels sebagai gubernur jenderal Hindia-Belanda pada 1807. Tiba di Jawa pada 1808, kelakuan Daendels membuat dirinya dijuluki Tuan Besar Guntur.
Daendels lahir di Hattem, Provinsi Gelderland, sekitar 100 kilometer di sebelah timur Amsterdam. Meraih gelar doktor hukum, ia membenci Partai Oranye, dan lari ke Prancis ketika pada saat Willem V mengambil alih kekuasaan atas bantuan Prusia pada 1787.
Menjadi anak buah Jenderal Jean-Charles Pichegru, Daendels kembali ke Belanda dan memimpin Republik Batavia dengan pangkat Jendral. Pasukan Pichegru berhasil menaklukkan Amsterdam pada Januari 1795.
Oohya! Baca juga ya:
Dipanggil pulang oleh Napoleon karena kelakuannya, ia kemudian menjadi jenderal divisi di kemilitiran Prancis. Menjadi komandan Divisi XXVI, ia ditugasi untuk misi militer ke Moskow.
Pada 1826 ia diangkat lagi menjadi gubernur jenderal. Bukan di Hindia-Belanda, melainkan di Guinea, Afrika Barat.
Ia juga bekerja keras seperti yang ia lakukan di Hindia-Belanda. Namun, Iklim di Guinea lebih panas dibandingkan dengan di Hindia-Belanda.
Ia meninggal pada 1818. “Tanpa mampu mencapai banyak hal,” tulis koran di Medan pada 1935.
Oohya! Baca juga ya:
Dipimpin Raja Muda Belia Sultan Hamengkubuwono IV, Keraton Yogyakarta Alami Kemerosotan Moral
Pada 1807 berangkat ke Jawa untuk posisinya sebagai gubernur jenderal Hindia-Belanda. “Butuh waktu sebelas bulan sebelum Daendels yang saat itu berusia 45 tahun berhasil mencapai Hindia melalui Amerika,” tulis koran di Semarang pada 1934.
Inggris selalu mengawasi Daendels dan melakukan berbagai cara agar Deandels tidak sampai di Hindia-Belanda. Namun, Daendels juga tak kurang akal untuk melakukan perjalanan secara diam-diam ke Hindia-Belanda.
Ia menyamar menggunakan nama kecil istrinya, Van Vlierden, pergi ke Prancis lalu mencari kapal yang netral. Tapi gagal.
Ia lalu menyewa kapal ikan, menaikinya bersama beberapa ajudannya berharap mendapat kapal di Tangier, Maroko. Ketahuan.
Daendles harus menyelamatkan diri dari kejaran kapal Inggris. Tapi beruntung, kapal nelayan itu bisa mencapai pantai di Afrika.
Bersama satu ajudannya ia lari ke Tangier. Ada kapal Amerika yang bisa membawanya ke New York. Dari New York ia melanjutkan perjalanan ke Hindia-Belanda.
Khawatir Inggris juga menyerbu Hindia-Belanda, maka Daendels meminta para pemuda pribumi untuk ia latih menjadi serdadu. Ia dikenal sebagai Tuan Besar Guntur. Karena pangkat marsekal dalam bahasa Belanda berarti maarschalk, ia pun dikenal sebagai Mas Kalak.
Itu julukan yang diberikan oleh orang-orang Indonesia pada masa itu. Suaranya yang penuh kemarahan tak hanya ditujukan kepada pribumi, melainkan juga kepada pejabat-pejabat kolonial.
Oohya! Baca juga ya:
Dipimpin Raja Muda Belia Sultan Hamengkubuwono IV, Keraton Yogyakarta Alami Kemerosotan Moral
Ada pejabat tinggi kolonial di Meester Cornelis. Namanya Mossel. Hanya karena ia masuk Batavia bukan di waktu yang tepat, seperti yang ditulis koran di Surabaya pada 1928, ia kena amukan Daendels.
Ada kadet pribumi, namanya Kellens. Pangkatnya kopral, tetapi tidak bisa naik-naik meski sebenarnya ia mampu. Ia menulis surat protes kepada Daendels.
Daendels meresponsnya. Sang Kopral dipanggil, setelah mengetahui duduk persoalan, Daendels menaikkan pangkatnya menjadi letnan satu.
“Tetapi pada saat yang sama Daendels menghukumnya dengan dua kali penangkapan selama 24 jam karena dia sengaja mengabaikan atasannya dengan menyampaikan langsung kepada Gubernur Jenderal,” tulis koran di Semarang.
Oohya! Baca juga ya:
Antisipasi Perubahan Iklim dengan Gaya Hidup Sehat, Bagaimana Caranya?
Suatu hari Daendels mendatangi seorang tuan tanah. Tapi mobilnya mogok sebelum sampai di rumah tuan tanah yang benama Van Riemsdijk itu. Hari sedang begitu panas.
Van Riemsdijk kebetulan sedang lewat dengan mobilnya, lalu menawarkan mobilnya untuk digunakan oleh Daendels. Van Riemsdijk kemudian melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki di tengah panas terik.
Daendels mencatat tindakan tuan tanah itu sebagai tindakan yang cerdas dan sopan. Kalaupun tuan tanah itu tidak menawarkan mobilnya, Daendels dengan kekuasaannya akan memintanya secara paksa.
Untuk kepentingan militer, Daendels membangun jalan raya pos dari Anyer sampai Panarukan. “Konon pembangunan jalan raya pos itu memakan korban jiwa tidak kurang dari 13 ribu kuli pribumi dalam waktu satu tahun,” tulis koran di Semarang.
Ada kejadian lucu saat pembangunan jalan raya pos ruas Cianjur-Bandung. Insinyur yang bertanggung jawab di ruas ini membangun jalan yang berbeda dengan yang dirancang Daendels.
Daendels meminta mengubahnya sesuai rancangan awal agar jalannya tidak menanjak tajam. Maka perlu dibuat banyak kelokan. Bupati Bandung mendengar instruksi itu.
Maka, ia pun berinisiatif merancang pembuatan banyak kelokan, kendati permukaan tanahnya tidak menanjak. Artinya, Bupati Bandung merancang jalan dengan banyak kelokan di permukaan tanah datar. Benar-benar konyol.
Oohya! Baca juga ya:
COP28, Jokowi Dapat 100 Juta Dolar AS dari PM Norwegia, Ini Kata CEO Econusa
“Rasa takut terhadap Yang Maha Agung begitu besar membuat Sang Bupati berpikir sebaiknya ia membuat beberapa lusin tikungan dan belokan di ruas jalannya, padahal ruas jalan tersebut melewati medan yang hampir datar,” tulis koran di Semarang.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
- Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 14 Desember 1934
- Deli Courant, 4 Mei 1935
- De Indische Courant, 13 Desember 1928
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]