Pitan

Ratu Kalinyamat Memimpin Negeri Islam, Kesultanan Aceh Bahkan Memiliki Empat Pemimpin Perempuan, Ini Penjelasan Hamka

Masjid Baiturrahman di Aceh. Pada abad ke-17, Kesultanan Aceh memiliki empat pemimpin perempuan.

Etnolog Belanda PJ Veth pernah merasa heran Ratu Kalinyamat yang bisa menjadi pemimpin di negeri Islam. Hamka memiliki penjelasan ketika Aceh memiliki empat pemimpin perempuan.

Keheranan Veth muncul karena referensi yang ia baca menyebutkan Islam tidak membolehkan perempuan menjadi pemimpin. Pada abad ke-17, Kesultanan Aceh tercatat memiliki empat pemimpin perempuan.

Pertama Sultanah Syafiyatuddin, memimpin selama 34 tahun (1644-1675). Berikutnya ada Sultanah Naqiyatuddin Syah (1675-1678), Sultanah Zakiyatuddin Syah (1678-1688), Sultanah Kamalat Syah (1688-1699).

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Sultanah Kamalat Syah diturunkan karena kepemimpinannya tidak memuaskan. Panglima Polim yang menjadi pembelanya tidak bisa mempertahankan kedudukannya.

Oohya! Baca juga ya:

Ini Lokasi di Puncak Gunung yang Menjadi Tempat Favorit untuk Berfoto Para Pendaki Amatir

Hamka menyebut, perempuan bisa memimpin Aceh memiliki dasar yang kuat. Adat kepimpinan Aceh memiliki pilar negeri berupa sultan (mahkota alam) dan polim (panglima) sebagai pedamping sultan. Panglima Polim ini yang bertugas menjaga pelaksanaan undang-undang kerajaan.

Ketika Sultan Aceh Iskandar Istani meninggal dunia, ia tidak memiliki anak laki-laki. Tapi, permaisuri Iskandar Istani adalah anak sultan sebelumnya, Iskandar Muda.

Maka, Syafiyatuddin dianggap memiliki dua kehormatan. Permaisuri dan anak sultan. Dia yang kemudian diajukan oleh Panglima Polim sebagai sultanah untuk menggantikan Sultan Iskandar Istani.

Oohya! Baca juga ya:

Malaka yang Pernah Diserang Dipati Unus dan Ratu Kalinyamat, Pantun Lama Ini Gambarkan Harapan Bantuan dari Jawa

“Dia berkata bahwa dalam Islam bukanlah perintah dari pribadi seseorang yang penting, melainkan seseorang yang penting yang bersumber dari syariat,” ujar Hamka.

Meskipun sultan itu seorang perempuan, ia tidak akan bisa bertindak sesuka hati. Ada Panglima Polim sebagai pendampingnya, yang menjaga dilaksanakannya undang-undang kerajaan.

Maka, untuk menaikkan Syafiyatuddin ke tahta sultanah, Panglima Polim harus menjelaskan dasar hukum yang dipunyai Aceh. Ia juga harus membujuk Syafiyatuddin agar bersedia diangkat menjadi sultanah menggantikan posisi suaminya yang sudah meninggal, Iskandar Istani.

Kepada Syafiyatuddin, Panglima Polim berjanji akan membelanya dalam menghadapi kesulitan menjalankan pemerintahan. Bila Syafiyatuddin duduk di singgasana, maka Panglima Polim akan di duduk pula di singgasana di sebelah kiri. Posisinya lebih rendah dari singgasana sultanah.

Panglima Polim adalah kakak dari Syafiyatuddin. Tapi ia tidak menjadi sultan karena ia sudah diberi posisi polim.

Sultan Iskandar Muda menasihati anaknya ini agar tidak mengejar posisi sultan. Karena dengan posisi polim, ia bisa mengangkat sultan.

Panglima Polim merupakan anak Iskandar muda dari istri selir keturunan Naubi (Sudan). Sedangkan Syafiyatuddin anak Iskandar Muda dari permaisuri.

Oohya! Baca juga ya:

Sultan Masih Kanak-kanak, Tanah Grobogan Diberikan oleh Pakubuwono I kepada Belanda Lalu Diberikan oleh Raffles kepada Pakualam I

Panglima Polim pendamping Sultanah Syafiyatuddin ini meninggal terle bih dulu. Posisinya digantikan oleh Panglima Polim II.

Panglima Polim II ini yang mengangkat Naqiyatuddin Syah menjadi sultanah menggantikan Sultanah Syafiyatuddin yang meninggal. Naqiyatuddin adalah anak dari Syafiyatuddin.

"Panglima Polim yang datang kemudian niscaya tidak sekuat neneknya yang dahulu lagi. Dan raja-raja perempuan yang datang di belakangan tidak pula sebijaksana Syafiyatuddin, sultanah pertama,” ujar Hamka.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
- Dari Perbendaharaan Lama karya Prof Dr Hamka (1994)
- De Locomotief, 4 Maret 1931, 5 Maret 1931

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]