Lincak

Perwira dari Ambon Ngamuk di Rumah Penerjemah Injil yang Disukai di Ambon, Perwira Itu Pernah Menangkap Trunojoyo

Kapten Jonker di sampul novel karta Rahmat Ali. Perwira Kompeni asal Ambon yang menangkap Trunojoyo ini ngamuk di rumah penerjemah Injil yang disukai di Ambon, Leijdecker.

Namanya Jonker, pangkatnya kapten. Ia merupakan perwira Kompeni dari Ambon yang menangkap Trunojoyo pada 1679.

Trunojoyo memberontak terhadap Mataram. Kompeni yang dimintai bantuan oleh Amangkurat II, mengirim perwira Jonker untuk menumpas Trunojoyo.

Namun, suatu hal telah terjadi, membuat penangkap Trunjoyo itu berbalik memusuhi Kompeni. Ia pergi ke Tugu, lalu ngamuk di rumah penerjemah Injil. Ia bakar rumah penerjemah Injil yang disukai di Ambon itu.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Insya Allah dan Assalamualaikum di Injil Cetakan Belanda, Kok Bisa?

Milchior Leijdecker adalah penginjil yang mendapat tugas penginjilan di Batavia. Ia mendapat tanah di Tugu, dan membangun rumah bambu di sana.

Ia memberi khotbah di gereja kecil dekat rumahnya. Ia juga menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Melayu.

Tugas resmi dari Kompeni baru ia terima pada 1691. Namun, sebelum 1691 ia sudah memulai kegiatan penerjemahan.

Itulah sebabnya ia memilih menyepi di Tugu, dekat Marunda. Injil terjemahan Leidecker dicetak pada 1733, jauh setelah ia meninggal pada 1701.

Ketika Injil ini digunakan di Ambon, orang Ambon menyukainya. Meski mereka tak terlalu memahami bahasanya.

Oohya! Baca juga ya:

Keturunan Sultan Agung Dipecat dari Perhimpunan Indonesia, Mengapa?

Leidecker menggunakan bahasa Melayu tinggi. Ia juga memasukkan kata-kata Arab yang sudah banyak digunakan oleh masyarakat Muslim pengguna bahasa Melayu.

Ketika Injil terjemahan Klinkert dengan bahasa Melayu rendah diterbitkan, masyarakat Ambon menolaknya. Mereka tetap memilih terjemahan Leidecker kendati belum dicetak lagi.

Jadi, ketika mereka ingin membeli Injil dan yang disodorkan adalah Injil terjemahan Klinkert, mereka memilih pulang dengan tangan kosong. Mereka menganjurkan Injil yang diterjemahkan Leijdecker dicetak ulang.

Bahkan, generasi tua meminta, Injil terjemahan karya penerjemah Injil Leijdecker itu jika dicetak ulang tetap menggunakan ejaan lama. Mereka tidak mau mendengar tentang perubahan huruf.

Gerenasi tua Ambon itu tak peduli bahwa mereka bisa salah paham terhadap bahasa Melayu tinggi yang tidak mereka pahami secara tepat itu. Hingga memasuki awal abad ke-20, Injil terjemahan karya Leidecker ini masih disukai di Ambon.

“Sikap ini tidaklah mengherankan, karena di mana-mana di dunia ini ada kecenderungan untuk menempatkan kesakralan sebuah kitab agama yang mulia bukan pada isinya, melainkan pada bunyi dan bentuk luarnya, sehingga dapat dibuat aturan: semakin kuno dan disalahpahami, semakin dihargai,” ujar penginjil Dr H Kraemer yang datang di Indonesia pada 1922.

Oohya! Baca juga ya:

Sering Bertemu Kai Mojo, Begini Penginjil Belanda Lakukan Kristenisasi di Tondano

Kraemer memberikan penilaiannya dalam tulisan perjalanannya. Ia pernah berkunjung ke Minahasa dan Sulawesi pada 1926.

Judul laporannya: “Verslag van de reis van Dr H Kraemer naar Ambon en de Minahassa van 2 September - 8 November 1926”. Kraemer menyebut arkaistik pada Injil terjemahan Leijdecker secara tidak sadar memberikan perasaan lebih pasti dan dapat diandalkan.

“Hal-hal yang kuno dan disalahpahami bersama-sama memberikan kesan misteri yang lebih tajam dan juga kekuatan. Bahasa Latin sebagai bahasa gereja Roma dan bahasa Arab sebagai bahasa dunia Islam adalah bukti yang sangat nyata akan hal tersebut,” lanjut Kraemer.

Di dalam terjemahannya, penerjemah Injil Leijdecker lebih suka menggunakan kata muhabbat daripada pengasihan. Ia gunakan iman daripada percaya. Ia pilih musyarahat daripada persekutuan.

“Saya hanya mengatakan hal di atas agar keterikatan pada Leidekker dapat dimengerti. Bagi masyarakat Ambon yang tua, jauh di lubuk hati mereka, Leidekker adalah Bibel,” kata Kraemer.

Oohya! Baca juga ya:

Cucu Sultan Hamengkubuwono VII Ini Dikenal Bisa Jadi Macan, Ia Pendekar Silat

Tapi, perwira Kompeni penangkap Trunojoyo itu meski dari Ambon, ia bukan penganut Kristen. Ia penganut Islam.

Di Tugu, ia memiliki pengikut bernama Machmud yang sehari-hari memakai surban, yang menjadi pembantu Leijdecker dalam penerjemahan Injil berbahasa Belanda ke dalam bahasa Melayu. Suatu malam, Machmud menodongkan keris ke bawah dagu Leijdecker untuk meminta uang.

WL Ritter di bukunya yang berjutul Nacht en Morgen uit het Indische Leven (1861), menyebut tindakan Machmud itu berakhir dengan kematian Machmud. Leijdecker kemudian memilih pergi ke Batavia untuk keselamatannya.

Perwira Kompeni dari Ambon, Kapten Jonker, yang mendengar nasib Machmud lalu mengajak pengikutnya menggeruduk rumah Leijdecker. Ia lalu ngamuk dan membakar rumah Leijdecker.

Tak puas dengan membakar rumah penginjil dan penerjemah Injil yang disukai di Ambon itu, Kapten Jonker lalu pergi ke Batavia. Jonker yang pernah menangkap Trunojoyo itu kemudian ditangkap dan dijatuhi hukuman mati pada 1689.

Priyantono Oemar