Lincak

Panglima Perang Diponegoro, Kiai Mojo, Disebut Kejam, Bawa Orang untuk Melawan Orang Kristen

Makam Kiai Mojo di Tondano, Minahasa. Panglima Perang Diponegoro itu disebut kejam, ke mana-mana bawa orang untuk melawan orang Kristen Belanda.

Kapal yang membawa Kiai Mojo beserta rombongan berangkat dari Batavia setelah keluar surat perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda tertanggal 29 Januari 1930. Tepatnya tanggal 19 Februari 1830.

“Kapal berlayar lewat Makassar dan Ambon memerlukan waktu sekitar sebulan atau lebih,” kata Tim G Babcock, antropolog Kanada, mengenai proses pembuangan panglima Perang Diponegoro itu.

Prof T Roorda menyebut Kiai Mojo sebagai orang yang berbahaya, berani, brutal, dan kejam. “Kiai Mojo selalu membawa orang ke mana-mana untuk melawan orang Kristen, yaitu Belanda,” kata Roorda seperti dikutip Tim G Babcock.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Bung Karno Ngaku Pelagak, Kok Maunya Naik Kuda Tua dan Jinak Saat Pawai Hari Angkatan Perang?

Roorda melontarkan kekhawatirannya jika Kiai Mojo melarikan diri lalu kembali ke Jawa. “Wajahnya menunjukkan pengkhianatan dan kebrutalan,” kata Roorda.

Oleh Belanda, Kiai Mojo beserta pengikutnya ditempatkan di pedalaman, yaitu di Tondano. Papan di makam Kiai Mojo ditulis kedatangan Kiai Mojo di Tondano adalah 1829.

Ini berbeda dengan catatan sejarah. “Tiba di Manado pada 8 Dulkaedah, yaitu 1 Mei 1830,” kata Tim G Babcock.

“Kiai Mojo dan 62 orang pendukungnya sudah tiba di Manado dari Ambon pada 1 Mei 1830 dan tinggal di Tonsea Lama di daerah Tondano,” kata Peter Carey.

Ketika Pangeran Diponegoro tiba di Manado pada 12 Juni 1830, Diponegoro tidak dibuang ke pedalaman. Belanda takut ada komunikasi antara Diponegoro dan Kiai Mojo.

Oohya! Baca juga ya:

Presiden Soeharto Masuk Ka’bah, Prabowo Subianto Ikut Naik Haji 1991

Jika itu terjadi, keberadaan mereka akan semakin berbahaya bagi Belanda. Maka, Diponegoro tetap ditawan di Manado.

Pekerjaan Knoerle dipermudah oleh keputusan Diponegoro yang juga tidak mau tinggal di Tondano. Suhu di Tondano bisa di bawah 21 derajat Celsius pada waktu fajar.

Karena penyakitnya, Diponegoro tidak menyukai udara dingin. Maka, Knoerle, ajudan Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang mengawal Diponegoro, mengabaikan perintah Gubuernur Jenderal. Gubernur Jenderal Van den Bosch memerintahkan penempatan Diponegoro di pedalaman.

Tapi Knoerle mencurigai penolakan dua haji yang ikut Kiai Mojo untuk bergabung dengan Diponegoro sebagai sebuah taktik. Demikaian pula tindakan panglima perang itu menolak uang pemberian dari Diponegoro.

Setelah mengetahui dapat tunjangan 600 gulden per bulan, Diponegoro meminta bantuan Konerle untuk mengirimkan uang sebesar 50 gulden kepada Kiai Mojo yang ditempatkan di Tondano. Kiai Mojo mengembalikan uang itu.

Ia beralasan, tunjangan untuk dirinya dan pengikutnya sudah lebih dari cukup. Meski ia dan pengikutnya masih harus mengupayakan pertanian untuk bisa bertahan hidup dan harus melawan orang Kristen Belanda di Tondano. Apakah ia tergolong orang yang berbahaya dan kejam?

Oohya! Baca juga ya:

Bung Karno Memeluk, Kenapa Jenderal Sudirman Enggan Membalas?

“Sekalipun ikatan kedua tokoh itu sangat buruk, sesuatu yang segera tercium oleh Konerle dari penolakan dua orang haji dalam rombongan Mojo terhadap permintaan Diponegoro agar bergabung dengan di adi Manado, kemungkinan bahwa Mojo dan Pangeran itu bisa kembali berhubungan dekat menjadi berbahaya,” kata Peter Carey.

Di Tondano, Kiai Mojo mendapat lahan kebun kopi yang kemudian dijadikan sebagai permukiman. Menurut Knoerle, pengiriman mereka di Tondano sudah menimbulkan kesulitan.

“Menurut Letnan Dua itu, hanya pemberian dua kebun kopi oleh Residen yang memungkinkan rombongan sebesar itu dapat mencukupi kebutuhan mereka sendiri dengan kegiatan pertanian sendiri,” kata Peter Carey.

Selama tinggal di Tondano, Kiai Mojo sering diajak bertemu oleh penginjil Belanda, Riedel. Riedel memberi Kiai Mojo sebuah Bibel.

Cerita tutur di Tondano menyebut Kiai Mojo pernah meracuni penginjil Belanda itu. “Tapi akhirnya diketahui bahwa Kiai Mojo berusaha untuk membunuh Riedel dengan jalan meracunnya. Di sini, ternyata, walaupun Kiai Mojo sudah terasing, sikap menentang Belanda belum padam,” tulis sebuah diktat mengenai kehidupan masyarakat Jawa Tindano keturunan pengikut Kiai Mojo.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
- Jaton, Identitas Keturunan Pengikut Diponegoro dan Kiai Modjo di Sulawesi Utara, tanpa tahun
- Kampung Jawa Tondano, Religion and Culture Identity, karya Tim G Babcock (1989)
- Kuasa Ramalan, karya Peter Carey (2012)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]

Berita Terkait

Image

Melawan Belanda dengan Bahasa

Image

Siapa Pakualam, Pangeran Yogyakarta yang Mendapat Hadiah Tanah di Grobogan dari Raffles?

Image

Di Grobogan Ada Tanah yang oleh Raffles Dihadiahkan kepada Pakualam