Lincak

Kapten Tack Dibunuh, Cucu Sultan Agung Ini Ingin Pergi ke Masjid Demak, untuk Apa?

Masjid Demak dibangun oleh Walisanga. Cucu Sultan Agung, Amangkurat II, menganggap ini masjid leluhur sehingga ia akan mengunjungi masjid ini setelah Kapten Tack dibunuh. Untuk apa?

Utusan cucu Sultan Agung Mataram pada Februari 1686 disandera di Batavia. Akibatnya, ketika sebelum Oktober 1686 Mataram ingin mengirimkan utusan lagi, tak ada yang bersedia dikirim ke Batavia.

Raja Mataram cucu Sultan Agung baru mengirim utusan ke Batavia pada Desember 1686. Tapi, cucu Sultan Agung itu, Amangkurat II, sebelum Oktober 1686 telah menyerahkan nasibnya kepada Kompeni dan akan ke Masjid Demak untuk kemudian ke Jepara.

Mengapa ke Masjid Demak? Sebab masjid ini dianggap sebagai masjid peninggalan leluhur Mataram. Di masjid ini cucu Sultan Agung itu bahkan akan bersumpah lebih baik tidak dibolehkan meninggalkan masjid dan langsung dibunuh saja jika ia tidak jujur dalam kasus terbunuhnya Kapten Tack.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Cucu Sultan Agung Umpamakan Dirinya Bagai Anjing dan Babi yang akan Patuh pada Kompeni

Setekah Kapten Tack dibunuh oleh Untung Suropati, hubungan cucu Sultan Agung dengan Kompeni memburuk. Padahal, ia bisa kembali ke keraton Kartosuro atas bantuan Kompeni.

Sebelumnya, Amangkurat II harus mengikuti ayahnya, Amangkurat I, melarikan diri karena keraton diserbu oleh Trunojoyo. Ia lalu bisa membunuh Trunojoyo juga atas bantuan Kompeni.

Para residen senang mendengar kabar Amangkurat II akan ke Jepara. Ini dianggap sebagai adanya niat dari cucu Sultan Agung itu untuk membereskan masalah yang muncul setelah Kapten Tack dibunuh.

Karenanya, para residen mengingatkan Amangkurat II agar membersihkan orang-orang di sekitarnya yang berniat jahat. Maka, cucu Sultan AGung itu pun menyatakan akan melakukan tindakan terhadap Nerangkusumo, patih yang memberi perlindungan kepada Untung Suropati.

Pemberian hukuman terhadap Nerangkusumo merupakan permintaan Kompeni. Cucu Sultan Agung itu kemudian memang mengganti Nerangkusumo. Naiklah Sindurejo sebagai patih menggantikan Nerangkusumo.

Oohya! Baca juga ya:

Mengapa Bahasa Indonesia Disebut Miskin Kosakata? Menyambut Pemutakhiran KBBI

Untuk melaksanakan rencana cucu Sultan Agung pergi ke Masjid Demak, maka di dekat Masjid Demak dibuat pesanggrahan. Pesanggarahan itu akan digunakan untuk temapt beristirahat cucu Sultan Agung.

Pembuatan pesanggrahan sudah selesai pada awal Oktober 1686. Sebelum persiapan membuat pesanggrahan di dekat Masjid Demak, di Kartosuro Amangkurat II sempat menolak kedatangan utusan Kompeni dari Jepara.

Alasannya, cucu Sultan Agung itu sednag sibuk menyiapkan utusan yang akan dikirim ke Batavia. Utusan itu pulang ke Jepara membawa surat yang dibuat oleh Patih Sindurejo.

Tapi dalam surat itu, Sindurejo mengatakan bahwa cucu Sultan Agung belum berniat mengirim utusan ke Batavia. Alasan tidak akan mengirim utusan sudah ditulis di surat-surat sebelumnya.

Apa isi surat-surat sebelumnya? Dalam suratnya pada Juni 1686, Amangkurat II pernah menyatakan di bahwa ia telah memberikan penjelasan mengenai peristiwa pembunuhan Kapten Tack kepada Residen Jepara. Residen Jepara bisa meneruskan penjelasan itu ke Batavia.

Menurut cucu Sultan Agung, tak ada lagi yang perlu dijelaskan ke Batavia darinya. Tapi cucu SUltan AGung itu benar-benar berungguh-sungguh berserah diri kepada Kompeni, karenanya akan segera ke Masjid Demak dan kemudian ke Jepara.

Oohya! Baca juga ya:

Sakit Hati kepada Petugas Bea Cukai Sebelum Pecah Perang Jawa

Selain itu, sebenarnya cucu Sultan Agung itu baru akan mengirim utusan ke Batavia jika Batavia sudah mengirim utusan ke Kartosuro. Amangkurat II selalu mengingat penjelasan Residen Jepara bahwa Batavia akan mengirim utusan.

Tapi nyatanya, utusan yang ditunggu-tunggu itu tidak pernah datang. Rupanya, penjelasan mengenai akan datangnya utusan dari Batavia itu semata inisiatif Residen Jepara, tanpa sepengetahuan Batavia.

Sementara Batavia menginginkan Mataram mengirim lagi utusan. Ketika utusan disiapkan untuk dikirim ke Batavia, rupanya orang-orang yang ditunjuk enggan berangkat ke Batavia.

Hal itu membuat Sindurejo marah. Itulah sebabnya, ia membuat surat yang ia titipkan kepada utusan dari Jepara, menyatakan bahwa Amangkurat II belum akan mengirim utusan ke Batavia.

Sikap ini dianggap lancing oleh Kompeni. Mataram dianggap melunjak, dan itu terjadi karena Batavia dianggap tidak berani mengambil tindakan tegas sebagai balasan setelah Kapten Tack dibunuh.

Oohya! Baca juga ya:

Pakai Toga di Depan Ka'bah, ke Kampung Pramoedya Ananta Toer Jadi PPPK Guru, Inilah Kisah Mojang Bandung

Tapi Kompeni di Jepara tak bisa berbuat banyak. Apalagi sikap Mataram itu mendapat dukungan dari Cirebon. Di Cirebon muncul hasutan untuk terus membenci Kompeni, mengikuti perkembangan yang terjadi di Mataram setelah Kapten Tack dibunuh.

Bulan Oktober berlalu, rencana cucu Sultan AGung pergi ke Masjid Demak, kemudian ke Jepara juga belum ada tanda-tanda terealisasi. Tapi, pada Desmeber 1686 dikirim utusan ke Batavia.

Utusan itu terdiri dari Adipati Jepara Nolojoyo; juru tulis Amangkurat II, Surowikromo; dan calon adipati Semarang, Alad-alad. Tapi utusan ini mengecewakan Kompeni, karena mereka tidak membawa laporan yang dinginkan Kompeni, mengenai pembunuhan Kapten Tack.

Surat cucu Sultan Agung yang mereka bawa kembali menjelaskan mengenai kerugian yang diderita Mataram akibat Untung Suropati tinggal di Mataram hingga akhirnya membunuh Kapten Tack. Peristiwa itu telah membuat keraton hancur, banyak pejabat yang tewas juga.

Periwtiwa itu pula telah membuat hubungan cucu Sultan Agung dengan Kompeni rusak. Karenanya, ia ingin berserah diri kepada Allah SWT di Masjid Demak, sebelum menyerahkan diri kepada Kompeni di Jepara.

Oleh Kompeni, utusan Mataram yang datang pada Desmeber 1686 itu hanya dianggap sebagai kurir, bukan duta. “Dengan tangan hampa para utusan pulang,” kata Dr HJ de Graaf.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Terbunuhnya Kapten Tack, karya Dr HJ de Graaf (1989)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]