Lincak

Buka Sayembara Tangkap Suropati, Cucu Sultan Agung Ingin Turun Tahta, Mengapa?

Ilustrasi karya Tirto (Gresik) tentang penyerangan Kapten Tack oleh Untung Suropati. Cucu Sultan Agung lalu buka sayembara tangkap Suropati dengan hadiah jabatan, terapai mengapa ia ingin turun tahta?

Setelah Kapten Tack dibunuh oleh Untung Suropati di Kartosuro, Kompeni meningkatkan kesiagaan di Jepara. Kekuatan pasukannya mencapai 1.500 prajurit, dan cucu Sultan Agung mendengar perihal itu pada akhir Februari 1686.

Kompeni pun mendengar kabar cucu Sultan Agung, Amangkurat II, akan melarikan diri. Kompeni segera mengirim utusan ke Kartosuro, tetapi tidak diterima oleh Amangkurat II.

Amangkurat II kemudian berinisiatif berkunjung ke loji. Ia perhatikan sikap Kompeni, setelah itu mengapa cucu Sultan Agung itu malah berniat turun tahta dan pergi ke Makkah? Padahal ia sudah memukul canang membuka sayembara tangkap Suropati.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Baru Kali Ini Utusan Cucu Sultan Agung Disandera Kompeni Setelah Kapten Tack Dibunuh, Apa Sebab?

Amangkurat II dinilai sangat sentimental setelah melihat sikap Kompeni yang menerimanya di loji. Padahal Kompeni menyambutnya dengans ikap yang manis.

Ia beserta Putra Mahkota dan para pejabat keraton disambut dengan upacara. Dijamu pula dengan roti kering, gula, biskuit, keju, mentega, anggur, dan bir. Amangkurat II menyantapnya dengan cukup lahap.

“Setelah mendengarkan ucapan-ucapan para residen yang membesar-nesarkan hati, Baginda makan dan minum dengan nikmat, lalu dengan hati ringan pulang ke keraton,” kata Dr HJ de Graaf.

Sebelum pulang, kepada Kompeni Amangkurat II memberi hadiah. Yaitu berupa seekor lembu, beberapa rusa, beras.

Pada 2 Maret Amangkurat II berkunjung lagi ke loji Kompeni. Tapi dianggap oleh Kompeni sebagai hanya ingin menikmati biskuit, mentega dan keju.

Oohya! Baca juga ya:

Mengapa Bahasa Indonesia Disebut Miskin Kosakata? Menyambut Pemutakhiran KBBI

Selama pertemuan itu, Amangkurat II memperhatikan sikap yang lain. Saat duduk Kompeni melakukan tindakan sesuai tata krama Belanda, tetapi tidka sesuai dengan tata krama Jawa.

Mereka duduk dengan mengangkat topi mereka sebagai tanda hormat. Para pejabat keraton meniru para pejabat Kompeni itu dengan melepas blangkon mereka.

Cucu Sultan Agung itu merasa tidak dihargai, sehingga ia memiliki pemikiran lebih baik turun tahta dan menunaikan ibadah haji saja. Bahkan ia sudah memberikan instruksi agar kapal untuk ke Makkah segera disiapkan.

Di hadapan para utusan Kompeni itu, cucu Sultan Agung itu sempat memukul canang. Ia mencanangkan sayembara untuk menangkap Untung Suropati.

Untung Suropati dinyatakan sudah tidak mendapat perlindungan lagi dari Mataram. Barang siapa bisa menangkapnya, jika ia orang biasa akan diberi jabatan menteri di keraton.

Setelah menjadi menteri, ia akan menerima hadiah empat desa yang subur. Tak luput pula ia akan mendapat nama baru yang harum. Tapi setelah itu, cucu SUltan Agung itu malah ingin turun tahta.

Oohya! Baca juga ya:

Sakit Hati kepada Petugas Bea Cukai Sebelum Pecah Perang Jawa

Adakah yang tertarik mengikuti sayembara itu? Suropati sudah melarikan diri ke Kediri.

Cucu Sultan Agung itu sudah mengerahkan 9.000 orang memburu Suropati ke arah timur. Pangeran Puger, Notokusumo, Panular, memimpin mereka. kepala Untung Suropatilah yang harus mereka bawa pulang.

Jika ada yang menolak penugasan ini, Amangkurat II menegaskan akan menjadikannya sebagai budak. Para bupati pesisir timur juga diajak untuk mencegah Suropati mencapai Blambangan.

Tapi Kompeni sudah tidak mempercayai cucu Sultan Agung itu. Pada 6 Maret 1686 datang perintah agar garnisun Kompeni di Kartosuro harus ditarik ke Jepara.

Permintaan penarikan garnisun itu menggunakan kata-kata yang manis agar Amangkurat II tidak sakit hati.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Terbunuhnya Kapten Tack, karya Dr HJ de Graaf (1989)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
oohya.republika@gmail.com