Lincak

Anak Sultan Agung Lakukan Hal Ini Setelah Membantai Ulama dan Santri

Amangkurat I dipertemukan dengan Pangeran Purboyo di makam Sultan Agung. Anak Sultan Agung itu lakukan hal apa setelah membantai ulama dan santri?

Anak Sultan Agung, Amangkurat I, mencukur gundul rambutnya setelah Pangeran Alit terbunuh. Itu sebagai tanda berduka, kendati ia yang memerintahkan pengawalnya untuk membunuh adiknya yang memberontak itu.

Selama masa berduka, ia mencari cara untuk menyelesaikan masalah. Setelah membantai para ulama dan santri, anak Sultan Agung itu mengadakan pertemuan.

Di pertemuan itu, ia lakukan hal ini: menghadirkan para ulama yang tidak ikut dibunuh, dan kemudian mereka mengaku telah merencanakan pengangkatan Pangeran Alit sebagai raja baru. Meluapkan kemarahannya, anak Sultan Agung itu segera meminta diseret 7-8 pejabat ke pertemuan.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Derita RA Kartini Setelah Dinikahi Lelaki yang Sudah Punya Istri, Siapa yang Ingin Menodai Nama Pejuang Emansipasi Perempuan Itu?

Ia mencurigai para pejabat tua itu ikut persekongkolan untuk merebut tahta. Mereka lalu dibunuh beserta anak istri mereka.

Begitulah cara anak Sultan Agung itu akan mengganti pejabat-pejabat yang sudah tua dengan yang muda-muda. Amangkurat I naik tahta pada 1646 ketika berusia 27 tahun.

Pangeran Alit memberontak dua tahun setelah Amangkurat I naik tahta. Di belakang Pangeran Alit ada Tumenggung Wiroguno yang pada 1637 istri tercantiknya diculik oleh Amangkurat I sewaktu masih menjadi putra mahkota.

Ketika Sultan Agung mewariskan tahta kepada Amangkurat I, ia sudah berpesan agar abdi-abdinya mendukungnya. Yang paling utama ia minta adalah Wiroguno.

Ia juga meminta Pangeran Purboyo untuk baik-baik saja sepeninggalnya. Pangeran Purboyo yang kemudian menobatkan putra mahkota, Pangeran Adipai Anom, menjadi raja dengan nama Susuhunan Amagkurat I.

Oohya! Baca juga ya:

Jangan Membaca Buku Lebih dari 1,5 Jam Hai Mahasiswa, Ini Tip Membaca Belajar-Kritis

Tindakan anak Sultan Agung membantai para ulama dan santri, lalu membunuh pejabat-pejaat tua yang diangkat semasa Sultan Agung, membuat gusar Pangeran Purboyo. Ia juga memikirkan keselamatan dirinya, yang sewaktu-waktu juga bisa menjadi sasaran kemarahan Amangkurat I.

Sebagai pengasuhnya, Pangeran Purboyo juga tidak dimintai pendapat oleh anak Sultan Agung itu. Maka, diam-diam Pangeran Purboyo kemudian meningkatkan kekuatan dan tidak lagi hadir di keraton.

Pangeran Purboyo harus menaga keselamatan dirinya beserta keluarganya dan teman-temannya yang sudah tua, yang masih memiliki kedudukan di keraton. Tapi karena anaknya merupakan kepervayaan anak Sultan Agung itu, maka, ia minta anaknya tetap hadir di keraton.

Mengetahui alasan Pangeran Purboyo tidak hadir di keraton, maka anak Sultan Agung itu segera mengunjungi Pangeran Purboyo untuk meminta maaf. Ia juga meminta anak Pangeran Purboyo untuk bersama Pangeran Purboyo, tidak perlu lagi di keraton.

Anak Pangeran Purboyo menangkap maksud perintah dari Amangkurat I itu. Karenanya ia menolak dengan menyatakan bahwa ia adalah abdi raja, bukan abdi Pangeran Purboyo yang menolak tindakan Amangkurat I membantai para ulama dan santri.

Amangkurat I lantas lakukan hal ini: menarik anak buah dari anak Pangeran Purboyo. Ia lalu memaksa anak Pangeran Purboyo pulang ke orang tuanya.

Oohya! Baca juga ya:

Mengapa RA Kartini Bersedia Menjadi Istri Bupati Rembang? Ini Alasan Pejuang Emansipasi Perempuan Itu

Pangeran Purboyo mengirimkan kembali anaknya ke keraton. Ia merasa anaknya harus tetap mengabdi kepada raja.

Perselisihan Pangeran Purboyo dengan anak Sultan Agung itu dilihat oleh Ratu Ibu. Ia lalu mengundang anaknya, Amangkurat I an Pangeran Purboyo di makam Sultan Agung.

Untuk mengadakan pertemuan ini, Ratu Ibu harus menggunakan trik. Ia meminta izin kepada Amangkurat I agar diizinkan berziarah ke makam Sultan Agung.

Ia berangkat dengan tandu tertutup, mampi ke rumah Pangeran Purboyo. Ia menyampaikan pesan kepada Pangeran Purboyo menyertainya ke makam, karena Amangkurat I ingin bertemu dengan Pangeran Purboyo.

Ratu Ibu mengancam akan bunuh diri jika Pangeran Purboyo menolak. Pangeran Purboyo [un berangkat.

Oohya! Baca juga ya:

Mudik Lebaran Menjadi Terasing di Jalan Tol, Apalagi Jika Susah Mendapati Pengasoan

Dengan cara yang sama, Ratu Ibu meminta Amangkurat I pergi ke makam. Kepada Amangkurat I, ia menyatakan mendengar suara Sultan Agung yang memerintahkan agar memanggil Amangkurat I ke makam.

Ia mencabut keris kecil sebagai ancaman bunuh diri jika anak Sultan Agung itu menolak. Di makam, Ratu Ibu mengungkit masa-masa remaja Amangkurat I saat ia meminta perlindungan kepada ibunya setelah menculik istri Tumenggung Wiroguno.

Ia lalu meminta bantuan agar cucu Sultan Agung itu menjamin keselamatan dan kedudukan Pangeran Purboyo. Amangkurat I menolak, karena berkaitan dengan kewibawaannya sebagai raja.

Mendapat penolakan itu, Rabu Ibu lalu menghadirkan Pangeran Purboyo. Ketika Pangeran Purboyo dan Amangkurat I bertemu, keduanya tercengang. 

Pangeran Purboyo pun segera lakukan hal ini: berlutut dan mencium kaki keponakannya itu. Itu ia lakukan karena ia mengkhawatirkan keselamatan keluarganya, dan melupakan kemarahannya karena tidak diminta pendapat sebelum keponakannya itu membantai para ulama dan santri.

Ratu Ibu melihat itu sebagai penyerahan diri Pangeran Purboyo kepada raja. Ia pun memanggil pengawal raja dan pengawal Pangeran Purboyo untuk menyaksikan penyerahan diri Pangeran Purboyo kepada anak Sultan Agung.

Oohya! Baca juga ya:

Apa yang Bikin RA Kartini Ceria Setelah Shalat Minta Hujan Saat Terjadi Kelaparan karena Kemarau Panjang?

Anak Sultan Agung pun memaafkan Pangeran Purboyo, lalu pulang ke keraton. “Ratu Ibu yang mengenal putranya yang salah itu kea rah yang lebih baik,” kata Dr HJ de Graaf.

Tapi, anak Sultan Agung itu di kemudian hari berjalan kea rah yang buruk lagi, setelah para orang tua telah tiada. Pangeran Purboyo gugur di medan perang saat mengiringi Tumenggung Wiroguno menyerbu musuh di Blambangan.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I, karya Dr HJ de Graaf (1987)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]