Leluhur Sultan Agung Menangkap Api Kekuasaan dari Kahyangan di Grobogan
Raja Mataram Sultan Agung dikenal memiliki leluhur dari Selo, Grobogan. Dialah Ki Ageng Selo, ulama yang pernah menjadi guru Joko Tingkir.
Ki Ageng Selo dikebal pernah menangkap petir. Oleh keturunannya, api petir itu disimpan di makamnya di Desa Selo, yang setiap tahun diambil untuk upacara di Keraton Surakarta dan Yogyakarta.
BJO Schrieke memaknai petir sebagai api dari Kahyangan. Api kekuasaan yang bersinar. Apa maksudnya?
Oohya! Baca juga ya:
Diponegoro Seharusnya Berbahagia, tapi Ia Nelangsa Amat di Hari Lebaran Kali Ini
WF Stutterheim menginterpretasikan Ki Ageng Selo sebagai seorang raja keturunan Dewa Indra pembawa petir. Ia merunutnya dari Wangsa Syailendra.
Wangsa Syailendra meminpin Kerajaan Mataram Kuno yang beribu kota di Medang. Di sebelah timur Selo ada desa Medang, tetapi oleh masyarakat lokal dianggap sebagai lokasi Kerajaan Medang Kamulan yang dipimpin oleh Prabu Aji Saka.
BJO Schrieke mengaitkan perustiwa Ki Ageng Selo menangkap petir dengan bukit berapi yang berlumpur yang ada di Grobogan. Bukit berapi tang berlumpur itu disebut Schrieke sebagai tempat keramat.
Hal itu menandakan ada sebuah dinasti yang pernah berkuasa di wilayah Grobogan. Legenda Aji Saka dan Joko Tarub memang hidup di Grobogan.
Oohya! Baca juga ya:
Kapan Lebaran Idul Fitri Pernah Berbeda?
Aji Saka, pangeran dari India yang datang di Jawa pada tahun 78 Masehi itu menjadi raja Medang Kamulan. Kerajaan yang dipercaya ada di wilayah Grobogan.
Legenda Jaka Tarub juga ada di Grobogan. Joko Tarub adalah sahabat Raja Majapahit Brawijaya V yang tinggal di Desa Tarub dan menikahi bidadari.
Suatu hari, saat salah satu istri Brawijaya V melshirkan, anaknya diramalkan akan menjadi orang besar yang bisa mengalahkan nama besar Brawijaya V. Maka, anaknya itu kemuduan dibuang ke Grobogan, diserahkan keoada Jokao Tarub.
Anak itu bernama Bondan Kejawan, setelah dewasa dinikahkan dengan putri Jokao Tarub, Nawangsih. Darinya, lahirlah anak yang kemudian dikenal sebagai Ki Ageng Getas Pandawa.
Ki Ageng Getas Pandawa memiliki anak yang dikenal sebagai Ki Ageng Selo, si penangkap petir itu. Enam adik Ki Ageng Selo semuanya perempuan.
Ki Ageng Selo kemudian memiliki anak laki-laki yang dikenal sebagai Ki Ageng Ngenis. Enam kakak Ki Ageng Ngenis semua perempuan.
Oohya! Baca juga ya:
Lebaran Banyak Orang Datangi Meriam Si Jagur di Batavia, untuk Apa?
Ki Ageng Ngenis memikiki anak yang dikenal sebagai Ki Ageng Pemanahan. Ki Ageng Pemanahan inilah yang membuka hutan di Mataram dan diramal oleh Sunan Giri akan melahirkan raja yang menguasai Tanah Jawa.
Anak Ki Ageng Pemanahan bernama Danang Sutowijoyo, diangkat sebagai anak oleh Joko Tingkir ketika Joko Tingkir sudah menjadi Adipati Pajang.
Danang Sutowijoyo inilah yang kemudian menjadi raja pertama Mataram dengan nama Panembahan Senopati. Salah satu anaknya menjadi raja kedua Mataram bernama Prabu Anyokrowati.
Salah satu anak Anyokrowati mebjadi raja ketiga Mataram, dikenal sebagai Sultan Agung. Cucu Panembahan Senopati ini masih keturunan dari Ki Ageng Selo, tokoh Grobogan yang bisa menangkap petir.
Mengapa Stutterheim mengaitkan Ki Ageng Selo dengan Syailendra? Menurut Stutterheim, Syailendra berasal dari kata Syaila dan Indra.
Oohya! Baca juga ya:
Saat Kakek Sultan Agung Meninggal Terjadi Gerhana Matahari Total, Apa Artinya?
Syaila merupakan bentuk kuno dari Sela (Selo), sedangkan Indra adalah dewa pembawa halilintar. Maka, Desa Selo di Grobogan memiliki tempat tersendiri bagi Mataram.
Api petir yang selalu diambil dari Selo untuk upacara di Mataram (Surakarta dan Yogyajarta) itu dianggap sebagai api dari Kahyangan. "Jadi, Schrieke berpendapat, api di Selo itu sesungguhnya mencerminkan asas kekuasaan yang bersinar," kata Dr HJ de Graaf.
Tiga orang Selo, Ki Ageng Getas Pandawa, Ki Ageng Pabjawi, Ki Juru Martani kemudian mengabdi pada Pajang. Anak Pemanahan, menjadi anak angkat Sultan Pajang.
Anak Pemanahan itu kenudian diangkat menjadi Adipati Mataram. Pada akhirnya menjadi raja Mataram setelah Sultan Pajang Hadiwijoyo meninggal dunia.
Dihitung dengan kakek Sultan Agung itu, berarti ada empat orang Selo, Grobogan, yang memiliki peran penting membesarkan Pajang. Tapi ketika kakek Sultan Agung menjadi raja Mataram, semua berubah.
Ki Juru Martani diangkat menjadi patih Mataram, tapi anak Ki Panjawi yang menjadi Adipati Pati memberontak kepada Mataram.
Ma Roejan
Oohya! Baca juga ya:
3 Sahabat Nabi tak Ikut Perang Tabuk, Kenapa Dikucilkan 50 Hari?
Sumber rujukan:
- Awal Kebangkitan Mataram, karya Dr HJ de Graaf (1987)
- Babad Tanah Jawi, penerjemah Amir Rokhyatmo, penyunting Sapardi Djoko Damono dan Sonya Sondakh (2004)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]