Lincak

Sultan Agung Marah karena Minta Kuda Malah Diberi Istri, Bagaimana Kuda yang Diminta Itu Akhirnya Ada di Mataram?

Foto adegan film Sultan Agung. Sultan Agung meminta kuda yang dipunya Adipati Pajang. Tambakboyo, pemilik kuda, memilih menyerahkan istri daripada harus menyerahkan kudanya kepada Raja Mataram itu.

Sultan Agung sangat marah. Lalu ia menyeru agar orang-orang Pajang diboyong ke Mataram, tetapi jika laki-laki Pajang melawan, Sultan Agung meminta agar langsung dibunuh.

Kemarahan Sultan Agung itu bukan tanpa sebab. Adipati Pajang yang dimintai kuda oleh Sultan Agung memanggil bawahannya, sang pemilik kuda.

“Kalau Si Domba diminta Sang Raja, lebih baik istri saya yang diminta oleh Gusti,” terak Tambakboyo menunjukkan kemarahannya. Belakangan, kuda itu bisa juga dihadirkan di Mataram, bagaimana ceritanya?

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Adipati Pati Minta Tombak, Mengapa Kakek Sultan Agung Hanya Memberi Mata Tombak?

Tak ingin menyerahkan kuda kepada siapa pun, Tambakboyo segera menaiki kudanya. Berputar-putar, Tambakboyo mengayun-ayunkan tombak dari atas kudanya.

Tindakan Tambakboyo ini membuat hati panas, lalu dilaporkan oleh tusan Mataram kepada Sultan Agung. Bagaimana Babad Tanah Jawi menggambarkan kemarahan raja Mataram itu?

“Dada merah memanas. Paras muka seperti matahari. Bibir bergetar. Matanya seram merah seperti menyemburkan api,” tulis Babad Tanah Jawi.

Sultan Agung tahu, Tambakbaya memiliki kuda yang bagus. Namanya Si Domba.

Mendengar Mataram menyerang desa-desa di Pajang akibat tak memberikan kuda, Pajang pun menyiapkan pasukan. Sebanyak 40 prajurit perkasa dan digdaya pun dipersiapkan.

Oohya! Baca juga ya:

Grobogan Banjir, Desember 1955 Ada Pemilu, Mengapa Residen Semarang Kirim Perahu Motor?

Penampilan 40 pajurit itu berjenggot dan kumis yang seperti tanduk. Mereka juga bercambang dan berbulu dada.

“Kalau ditusuk, mereka tersenyum. Kalau ditombak, mengerling. Jika ditembak, tertawa,” tulis Babad Tanah Jawi.

Di Mataram, Sultan Agung juga menyiapkan pasukan. Ia menunjuk anak Ki Juru Mertani, Adipati Manduro, memimpin pasukan.Panembahan Puruboyo, Panembahan Juminah, Adipati Sumedang dan Demang Tanpanangkil diminta untuk mendampingi Manduro.

Di Pajang, formasi pasukan sudah siaga. Tambakboyo di sebelah kanan, Demang Jogorogo di depan.

Ketika pasukan Mataram dan Pajang sudah saling berhadapa-hadapan, genderang telah dipukul bertalu-talu. Maka orang-orang Mataram diterjang oleh pasukan yang dipimpin Tambakboyo.

Adipati Sumenang mengalami luka-luka akibat serangan pasukan Tambakboyo. Maka, Panembahan Juminah pun mengamuk, sehingga banyak orang Pajang yang tewas.

Oohya! Baca juga ya:

300 Ribu Murid SMK dari Keluarga Rentan akan Dilatih AI oleh Plan Indonesia dan Microsoft

Adipati Pajang datang menolong Tambakboyo, tetapi orang-orang Mataram terlalu banyak. Tambakboyo yang sudah dikepung orang Mataram, berupaya melarikan diri.

Ia mengumpat Adipati Manduro yang memimpin pasukan Mataram. Sebab, Manduro pernah berjanji akan membantu Pajang dalam perang.

“Ki Manduro Bajingan, ia ingkar janjji.” Orang-orang Pajang mengumpat Adipati Manduro.

Tambakboyo kemudian menjemput istrinya dengan kudanya, lalu melanjutkan upayanya meloloskan diri dari kejaran orang Mataram. Ia meminta istrinya untuk berpegang erat.

“Kalau terjatuh kau akan dilarikan oleh musuh,” kata Tambakboyo. Rupanya, Tambakboyo juga tidak rela jika istrinya diambil oleh orang Mataram.

Oohya! Baca juga ya:

Digunjing karena Pinjol, Ternyata ITB Miliki Alumni Presiden dan Musuh Soeharto serta Anggota PMB

Padahal, di depan Adipati Pajang saat utusan Mataram meminta kudanya, ia memilih akan menyerahkan istrinya daripada harus menyerahkan kudanya. Tapi kemudian Tambakboyo memilih meninggalkan kudanya.

Lalu ia dan istri melanjutkan melarikan diri dengan naik perahu. Tak mungkin Tambakboyo membawa kudanya dengan perahu.

Ia mendayung perahu menuju Surabaya. Adipati Pajang yang juga ikut lari juga harus mendayung perahu untuk sampai di Surabaya.

Orang Mataram yang mengejar Tambakboyo mendapat kuda-kuda yang ditinggalkan oleh orang-orang Pajang. Salah satu di antara kuda itu ada Si Domba, kuda milik Tambakboyo.

Sultan Agung tentu senang mendapat kuda milik Tambakboyo. “Ke mana Adipati Pajang mengungsi,” tanya Sultan Agung kepada prajurit Mataram yang menyerahkan kuda Tambakboyo kepadanya.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Babad Tanah Jawi Jilid II, penerjemah Amir Rokhyatmo, penyunting Sapardi Djoko Damono dan Sonya Sondakh (2004)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
oohya.republika@gmail.com