Mengapa Anak Sultan Agung Ini Memberi Hukuman Mati kepada Mertua yang Menjadi Penguasa Jepara?
Putri penguasa Jepara, Wiradikara, menjadi selir Amangkurat I dan memberikan putra. Ia pun bisa mendapatkan kepercayaan yang besar dari Raja Mataram itu lewat putrinya itu.
Wiradikara mendapat tugas dari Amangkurat I untuk mendesak Kompeni agar mengirimkan utusan ke Mataram. Jika tidak ada utusan dari Kompeni, anak Sultan Agung itu akan nenutup pelabuhan-pelabuhan di pesisir utara.
Namun mengapa Amangkurat I mencopot Wiradikara dari jabatannya? Mengapa raja Mataram itu kemudian memberi hukuman mati kepada sang mertua beserta seluruh keluarganya –termasuk putrinya yang menjadi selir raja?
Oohya! Baca juga ya:
Amangkurat I di Masa Tua Keluarkan Banyak Uang untuk Selir-Selir yang Muda dan Cantik di Mataram
“Tiada kuburan disediakan bagi mereka; mayat-mayat mereka dibiarkan hanyut ke laut,” tulis Dr HJ de Graaf.
Setelah ia dicopot dari posisinya sebagai penguasa Jepara, ia dikembalikan pada posisi lamanya. Yaitu sebagai penjaga perisai-perisai keramat keraton.
Pada Desember 1670, ia meminta haknya, agar uang pribadi yang diambil Wiratmaka sebear 9.000 ringgit dikembalikan kepadanya. Amangkurat I hanya mengembalikan separuh lebih sedikit.
Bagaimana Wiradikara mengumpulkan kekayaan selama menjadi penguasa Jepara? Rupanya, ia telah menarik pajak yang begitu tinggi dengan memanfaatkan posisinya sebagai mertua raja.
Ia juga meminta hadiah kepada Kompeni dengan mengatasnamakan raja. Maka, Kompeni pun menilai, Wiradikara bisa menjadi penguasa Jepara karena telah memberikan janji kepada raja bisa memaksa Kompeni memberikan hadiah 10 ribu ringgit per tahun.
Oohya! Baca juga ya:
Kepada Kompeni, Wiradikara meminta agar hadiah dibagikansecara diam-diam sesuai kebijaksanaannya agar Raja Mataram tidak iri. Tapi, Amangkurat I mendengar kabar ini, sehingga ia meminta agar utusan Kompeni yang datang di Mataram menyerahkan hadiah hanya kepadanya.
Tugas rajalah untuk membagi-bagi hadiah dari Kompeni itu. Jadi, Kompeni tidka boleh memberikan hadiah kepada selain raja.
Untuk membujuk Kompeni agar mengirimkan utusan ke Mataram, Wiradikara mengirimkan surat yang sangat sopan tetapi memaksa. Berkali-kali ia mengirim surat desakan itu.
Pada 1 Oktober 1669, utusan Kompeni Maximiliaan de Jongh, eks rediden Ternate, berangkat ke Semarang. Pada 6 Oktober 1669, De Jongh sudah bertemu dengan Wiradikara di Semarang pada larut malam.
Hanya bertemu sebentar, sebab esok paginya, Wiradikara sudah berangkat ke Mataram, sehingga meminta De Jongh untuk menunggu beberapa hari. Putra Wiradikara, mewakili ayahnya menanyakan hadiah yang dibawa Kompeni.
De Jongh mengaku tidak tahu hadiahnya, karenanya ia hanya mengatakan hadiahya cukup bernilai tinggi, tetapi bukan uang tunai. Putra Wiradikara pun tampak kecewa mendengar hadiah yanga kan diberikan kepada ayahnya bukan uang tunai.
Oohya! Baca juga ya:
Wiradikara sudah ada di Semarang lagi pada 15 Oktober 1669. Atas nama raja, ia meminta De Jongh datang menemuinya untuk menerima perintah raja. De Jongh menolak, sebab dalam kebiasaaan sebelum-sebelumnya utusan Kompeni disambut di kapal.
Wiradikara pun memenuhi keinginan de Jongh tetapi berpesan agar hadiah untuk dirinya dirahasiakan. Surat dari raja pun dibacakan: Amangkurat I mengaku tidka bisa menyamut langsung kedatangan De Jongh karena di keraton ada gangguan akibat ulah Pangeran Adipati Anom dan Pangeran Singosari.
Dalam surat itu, Amangkurat I juga menyatakan, De Jongh boleh pulang ke Batavia dan datang lagi setelah raja sudah menyelesaikan urusan internal keraton.
De Jongh merasa perlu menyelidi penyebab kedatangannya ditolak. Ia mendapat berbagai keterangan.
Ada yang menyebut karena tidak membawa hadiah uang tunai. Ada pula yang menyebut karena hadiah terlalu sedikit.
Ada juga penjelasan karena Kompeni belum membayar uang sewa lojo selama 18 tahun. Ada yang memberi keterangan karena Komoeni menyerang Makassar. Dan sebagainya.
Oohya! Baca juga ya:
Apakah Moh Husni Thamrin Disuntik Mati oleh Belanda?
Tapi, dugaan kuat De Jongh adalah bahwa Amangkurat I marah kepada Wiradikara karena telah tidak tahu malu menuntut banyak kepada seorang utusan. Amangkurat I menjadi malu atas tindakan Wiradikara itu.
Maka, pada Februari 1970, Amangkurat I mencopot Wiradikara dari jabatannya sebagai penguasa Jepara. Posisinya digantikan oleh Wiraatmaka, yang sebelumnya menjabat sebagai syahbandar Jepara.
Namun, anak Sultan Agung itu baru menjatuhkan hukuman mati kepada Wiradikara pada Mei 1972. Pada pagi harinya, Amangkurat I mengangkat Wiradikara sebagai Tumenggung Madiun. Tetapi pada sore harinya, Amangkurat I menjatuhkan hukuman mati kepada Wiradikara.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I karya Dr HJ de Graaf (1987)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]