Cerita Diponegoro tentang Penurun Raja-Raja Mataram dari Grobogan yang Bertanya di Halaman Istana Pajang Malah Dijawab dengan Tusukan Tombak
Penurun raja-raja Mataram mengadang orang yang membawa tombak di halaman istana Pajang. Ia pun menjadi marah karena ketika ditanya, orang itu bukannya menjawab, melainkan malah mengarahkan tusukan tombak.
Penurun raja-raja Mataram dari Grobogan itu pun lalu menangkap orang yang akan menusukkan tombaknya itu. Sultan Pajang yang terbangun karena istrinya menjerit --melihat orang yang hendak membunuh suaminya-- tiba di halaman.
Menurut Diponegoro dalam babadnya, Sultan Pajang, Hadiwijoyo, pun menanyakan asal-usul orang yang sudah ditangkap Ki Ageng Selo itu. “Saya dari Jipang, disuruh membunuh Sang Raja,” jawab orang itu.
Oohya! Baca juga ya:
Pajak Gerbang Tol Memicu Aksi Kejahatan, Perang Diponegoro Mendapat Dukungan dari Para Penjahat
Orang itu bernama Dhadhang Wiring. Ia diutus oleh Aryo Jipang untuk membunuh Hadiwijoyo di Pajang.
Aryo Jipang juga mengutus Rangkut pergi ke Prawoto untuk membunuh Sunan Prawoto. Aryo Jipang ingin menghabisi semua keturunan Demak, karena sebenarnya, dirinyalah yang berhak menjadi sultan.
Saat Dhadhang Wiring pergi ke Pajang, rupanya Ki Ageng Selo yang tinggal di Selo, Grobogan, juga berniat menjenguk santrinya. Sehabis menjadi imam shalat Maghrib dan Isya di keraton Pajang, Ki Ageng Selo makan bersama Hadiwijoyo.
Setelah itu Ki Ageng Selo pamit pulang, tetapi dicegah oleh Hadiwijoyo. Hadiwijoyo berharap Ki Ageng Selo bersedia menginap semalam.
Ki Ageng Selo pun menuruti keinginan santrinya itu. Semalaman ia melakukan semedi.
Oohya! Baca juga ya:
Tengah malam rupanya ada orang yang masuk halaman keraton lalu membaca mantra tidur. Semua penghuni keraton tidur pulas termasuk Hadiwijoyo dan istri.
“Suasana sunyi sepi, tiada suara belalang berisik,” tulis Dipoengoro dalam babadnya.
Orang yang membacakan mantra, yang tidak lain adalah Dhadhang Wiring utusan Aryo Jipang masuk ke bangsal tempat Hadiwijoyo dan istri tidur. Ia tusukkan keris pembeian Aryo Jipang ke dada Hadiwijoyo.
“Sang Raja tidak terluka,” tulis Diponegoro.
Saat itu, Ki Ageng Selo yangs edang semedi resah. Ada yang mengganggu pikirannya, karena suasana begitu sepi.
Karenanya, penurun raja-raja Mataram itu pun keluar dari ruang semedi. Ia berkeliling di lingkungan keraton untuk melihat keadaan.
Oohya! Baca juga ya:
Ramai Pajak Hiburan 40-70 Persen, Diponegoro Menghukum Cambuk Pemungut Pajak
Ketika ia tiba di halaman keraton, Dhadhang Wiring menjadi kalut karena tugasnya membunuh Hadiwijoyo belum terlaksana.
Dalam kekalutan itu, ia menusukkan kerus sekenanya sehingga mengenai sebuah kendi. Kendi pecah, airnya mengenai istri Hadiwijoyo.
Istri Hadiwijoyo kaget dibuatnya, lalu menjerit. Dhadhang Wiring juga kaget, sehingga ia cepat-cepat meninggalkan bangsal tempat Hadiwijoyo tidur seraya mengambil tombak.
Ada suara jeritan, Hadiwijoyo juga terbangun, tetapi Dhadhang Wiring sudah melarikan diri. “Apa yang terjadi, kenapa kau menangis,” tanya Hadiwijoyo kepada istrinya.
Ia pun menceritakan kejadian yanag baru saja ia saksikan. Sang istri menangis, dikiranya Hadiwijoyo telah meninggal karena terkena tusukan keris. Hadiwojoyo pun keluar dari bangsal.
Oohya! Baca juga ya:
Film Siksa Neraka Ditolak Malaysia, Film Tiga Dara Dulu Sukses di Malaysia
Di halaman, Ki Ageng Selo tengah mengadang Dhadhang Wiring. “Kau orang mana,” tanya Ki Ageng Selo.
Dhadhang Wiring tidak menjawab. Ia malah mengarahkan tombak ke tubuh Ki Ageng Selo.
Ki Ageng Selo pun menangkapnya dengan mudah. “Engkau ini ibaratnya, ada pertanyaan tidak dijawab malah mau menusuk. Kurang ajar kau,” kata Ki Ageng Selo.
Setiba di halaman, Hadiwijoyo pun menanyakan asal-usul Dhadhang Wiring. Setelah mengetahui jati diri orang yang ingin membunuh dirinya, Hadiwijoyo pun bertanya kepada Ki Ageng Selo mengenai tindakan yang cocok diberikan kepada Dhadhang Wiring.
Penurun raja-raja Mataram itu menyerahkan sepenuhnya kepada keputusan Sultan Pajang. Hadiwijoyo pun melepaskan Dhadhang Wiring dan memintanya segera pulang ke Jipang.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Babad Dipanegara karya Diponegoro, diterjemahkan oleh Gunawan dkk (2016)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]