Cerita Penguasa Pesisir Hendak Menggadaikan Tol Laut kepada Kompeni pada Masa Amangkurat I Menjadi Raja Mataram
Kapal Kompeni dibebaskan dari pembayaran tol. Harga tol laut itu kemudian dibebankan kepada harga-harga komoditas. Beras yang semula hanya delapan riyal per koyan, misalnya, harus dibeli Kompeni seharga 15 riyal per koyan.
Ketika pada 1652 utusan Kompeni datang di Jepara, penguasa Jepara menawarkan beras dengan harga 50 riyal per koyan tanpa harus membayar tol. Utusan Kompeni, Van Goens, kemudian menawarnya hingga mendapat harga 14 riyal per koyan dan bebas tol.
“Dengan cara beginilah uang tol yang seharusnya diserahkan kepada Sunan diselewengkan,” tulis HJ de Graaf. Bahkan, penguasa pesisir itu hendak menggadaikan tol laut itu kepada Kompeni.
Oohya! Baca juga ya:
Menteri KKP akan Buka Lagi Ekspor Benih Bening Lobster, Kiara Sebut KKP Makin Melangkah Mundur
Kendati begitu, cara ini belum menguntungkan penguasa Jepara. Pada 1655, penguasa Jepara Ngabei Martonoto menggadaikan tol laut yang bisa dibayar untuk setahun sekaligus, dan memberikan Kompeni hak untuk memungut biaya tol dari kapal-kapal yang berlabuh.
Kepada Kompeni pun ditawarkan tarif tol laut sebesar 10 ribu riyal per tahun dan Kompeni bebas melakukan perdagangan dan memungut tol dari kapal-kapal yang bukan milik Kompeni. Penguasa Pati juga melakukan hal yang sama, menawarkan kepada Kompeni untuk membayar tol per tahun dengan imbalan bebas melakukan perdagangan.
Tentu saja Kompeni menolaknya. Kompeni tidak memiliki kekuasaan di pesisir, sehingga ragu bisa menekan kapal-kapal yang bukan milik Kompeni untuk membayar tol.
Sebelum Pati menggadaikan tol itu, penguasa Pati ingin menetapkan tarif tol per kapal sebesar 1.000 riyal. Imbalannya, Kompeni bisa melakukan perdagangan dengan siapa saja, tidak melulu harus dengan pembesar-pembesar yang ditetapkkan oleh Tumenggung Pati.
Ia mengungkapkan hal itu saat mabuk di depan Residen Pati. Residen Pati kemudian menolaknya, karena yang diinginkan Kompeni adalah bebas tol dan bebas berdagang.
Oohya! Baca juga ya:
Amangkurat I menetapkan, setiap kapal yang berlabuh di pelabuhan pesisir harus membayar tol untuk setiap barang yag diangkut. Maka, jika mereka tidak membayar tol untuk barang-barang yang diangkut, mereka tidak mendapat izin berlabuh atau izin mengangkat sauh.
Tapi, pada kenyataannya, penguasa pesisir membebaskan kapal-kapal Kompeni tidak perlu membayar tol. Kebijakan penguasa pesisir itu akan menyulitkan diri sendiri ketika Amangkurat I menagih hasil dari pembayaran tol.
Ketika pada 1659 Kompeni meminta tidak dibebani biaya tol atas komoditas yang diangkut, ini dijadikan kesempatan oleh penguasa Jepara untuk menekan Kompeni. Tumenggung Jepara Ngabei Martonoto menerapkan langkah cerdik agar Kompeni selalu membayar tol.
Kepada Kompeni, Martonoto menyatakan, Kompeni bebas melakukan perdagangan asal membayar tol untuk setiap komoditas yang diangkut. Ini artinya, Mataram membuka peluang untuk Kompeni mendapatkan segala komoditas yang diinginkan.
“Ngabei Martonoto memberi jaminan kepada Residen bahwa Sunan adalah seorang sahabat dekat Kapten Moor,” tulis De Graaf. Moor adalah perwira Kompeni di Batavia.
Agar Kompeni tidak memprotes kebijakan ini, Tumenggung Jepara membolehkan Kompeni menebang 100 pohon di hutan Mandalika. Hutan ini merupakan hutan cadangan kayu untuk pembuatan kapal Mataram.
Dengan cara inilah, penguasa Jepara Ngabei Martonoto mengumpulkan kembali penghasilan tol yang harus diserahkan kepada Amangkurat I. Maka, jika Kompeni tidak bersedia membayar tol, Amangkurat I tidak akan marah kepada Martonoto, melainkan kepada Kompeni.
Oohya! Baca juga ya:
Rupanya, Martonoto jengkel pula terhadap Kompeni yang selama ini dibebaskan dari pembayaran tol. Ketika Amangkurat I menagih pembayaran tol kepada Martonoto, Martonoto tidak bisa memberikannya.
Ia lalu mengajukan permintaan utang kepada Kompeni, namun ternyata Kompeni tidak memberikannya. Maka, ia harus bertindak cerdik agar Kompeni membayar kembali tarif tol yang ditetapkan Mataram.
Kendati begitu, Martonoto tetap kena marah Amangkurat I. Namun, rupanya, kemarahan Amangkurat I kepada Martonoto hanya pura-pura belaka.
Residen Kompeni mendapat kabar dari ‘mata-matanya’ di Mataram, biasanya dari para tawanan, bahwa ternyata Martonoto merupakan penguasa kesayangan Amangkurat I.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Disintegrasi Mataram di Bawa Mangkurat I karya Dr HJ de Graaf (1987)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]