Dua Pemimpin Muda Mataram, yang Satu Agung Pekerti, yang Satu Lagi Keji Perbuatan
Sultan Agung naik tahta menjadi pemimpin muda Mataram pada tahun 1613. Gubernur Jenderal Kompeni JP Coen menduga Sultan Agung berusia 20 tahun saat naik tahta. Pada usia 45 tahun, tahun 1628, Sultan Agung mengirim pasukan untuk menyerbu Batavia.
Sebelum menyerbu Kompeni di Batavia, Sultan Agung rajin melakukan penaklukan, hingga wilayah kekuasaannya mencapai luar Jawa. Baru setahun naik tahta, pada 1614 ia menyerbu Surabaya, tetapi tidak langsung ke Surabaya, melainkan ke wilayah-wiayah sekutu Surabaya.
Maka, sejak itu, penaklukan demi penaklukan dilancarkan. “Pada 1620 akan dimulai perang habis-habisan dengan Surabaya yang kuat,” tulis HJ de Graaf.
Oohya! Baca juga ya:
Cerita Andi Sahrandi tentang Pelajaran dari Kampung Menjelang Pilpres
Hingga akhirnya Surabaya takluk pada 1625, berarti Sultan Agung melakukan peperangan dengan Surabaya selama lima tahun. Bahkan ia sempat meminta bantuan Kompeni untuk bisa mengalahkan Surabaya, kendati Kompeni menolak permintaan itu.
Sumber-sumber Jawa menyebut Sultan Agung meninggal pada 1645, tetapi De Graaf memperkirakan Sultan Agung meninggal pada pertengahan Februari 1646, setelah 32-33 tahun memerintah. “Di bawah penjagaan ketat pengawal pribadi, putra mahkota diumumkan menjadi Susuhunan Ingalaga Matara,” tulis De Graaf.
Putra Mahkota Pangeran Adipati Anom telah menjadi Susuhunan Amangkurat I. Ia menjadi pemimpin muda Mataram, naik tahta pada pertengahan Februari 1646 di usia 26 tahun.
Perilaku amoral pada usia 18 tahun ketika menculik istri Tumenggung Wiroguno lalu menikahinya tanpa sepengetahuan Sultan Agung tidak menghalanginya untuk menjadi raja baru. Ia tetap dipertahankan menjadi putra mahkota, lalu naik tahta setelah Sultan Agung meninggal dunia.
“Mengenai putranya yang muda ini ... diusahakannya dengan sangat hati-hati dan bijaksana, supayakekuasaan putranya atas kerajaan Jawa bahkan juga mendapat dukungan dari Wiroguno,” tulis De Graaf mengutip catatan utusan Kompeni Van Goens.
Oohya! Baca juga ya:
Menurut De Graaf, van Goens memuji Sultan Agung yang meminta Wiroguno mendukung Amangkurat I kendati ia pernah punyamasalah dengan Amangkurat I. “Sebab, Sultan Agung merasa khawatir akan terjadi pertikaian antara kedua putranya dan paman mereka, Pangeran Purboyo, kakak sulungnya sendiri,” tulis De Graaf.
Pada awal menjadi raja, Amangkurat I memupuk kesenangan. Ia memindahkan keraton, membangun danau disekeliling istana agar ia bisa menghabiskan waktu dengan bermain perahu di danau.
Orang-orang yang menentang pemindahan ibu kota kerajaan ia ikat lalu ia jemur. Untuk membangun danau, ia kerahkan 300 ribu orang untuk bekerja secara paksa.
Setahun setelah Amangkurat I menduduki tahta, Pangeran Alit pada 1647 mencoba mengkudetanya. Adik Amangkurat I ini baru berusia 19 tahun.
Pangeran Alit seharusnya mengawasi pembangunan ibu kota baru, tetapi malah melakukan pemberontakan. Banyak pengikut Pangeran Alit yang sudah dibunuh oleh Amangkurat I.
Ketika Pangeran Alit datang kepadanya untuk memenuhi undangannya, Amangkurat I melemparkan kepala para pengikutnya kepada Pangeran Alit. “Beginilah tampang orang-orangmu yang ingin mengangkatmu sebagai raja,” kata Amangkurat I.
Oohya! Baca juga ya:
Amangkurat I pun meminta Pangeran Alit menyerahkan semua anak buah. Tak puas dengan langkah itu, para kiai dan santri yang mendukung Pangeran Alit dibasmi habis. Hamka menyebut ada sekitar 7.000 kiai-santri yang dibunuh.
Amangkurat I meninggal pada 1677, digantikan oleh Amangkurat II, memerintah selama 31 tahun. Ia meninggal di pelarian, ketika keratonnya direbut oleh Trunojoyo.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
- Puncak Kekuasaan Mataram karya Dr HJ de Graaf (2002, edisi revisi)
- Runtuhnya Istana Mataram karya Dr HJ de Graaf (1987)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
oohya.republika@gmail.com