Lincak

Pengganti Sultan Agung, Amangkurat I, Pekerjakan Secara Paksa 300 Ribu Orang di Ibu Kota Baru Mataram untuk Membangun Danau Kesenangan

Situs Keraton Mataram di Plered, yang dibangun oleh Amangkurat I. Tiga tahun setelah naik tahta, Amangkurat I memindahkan ibu kota Mataram dari Kartosuro ke Plered.

Kerajaan Mataram, kata HJ De Graaf, bangkit berkat watak kuat Panembahan Senopati dan Sultan Agung. “Tetapi demikianlah keruntuhan kerajaan tersebut disebabkan oleh sifat-sifat kejam anak-cucu mereka, yaitu Sunan Tegalwangi yang selalu curiga dan membawa malapetaka,” lanjut De Graaf.

Sunan Tegalwangi adalah julukan untuk Susuhunan Amangkurat I. Sifat kejam Amangkurat I yang dimulai dengan membunuh Tumenggung Wiroguno, berlanjut pada proyek pemindahan ibu kota mulai 1648.

Saat Amangkurat I memindahkan ibu kota Mataram dari Kartosuro ke Plered, pejabat-pejabat yang tidak menyetujuinya, ia beri hukuman. Ia juga mempekerjakan secara paksa 300 ribu orang di ibu kota baru.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya: Sultan Agung, Negara Api Itu Bernama Mataram

“Beberapa pejabat tinggi yang tidak mau turut membantu dalam pekerjaan itu disuruhnya ... ikat dan dibaringkan di paseban, dijemur dalam panas matahari,” tulis De Graaf mengutip catatan Winrick Kieft, utusan Kompeni yang dikirim ke Mataram pada November 1655.

Untuk pembangunan ibu kota baru yang berkepanjangan itu, Amangkurat I juga mengerahkan 300 ribu tenaga kerja paksa pada 1661. Mereka diperkerjakan untuk meneruskan pembangunan danau yang belum tuntas.

Danau untuk kesenangan Amangkurat I itu --tempat Amangkurat I bermain perahu-- telah dibangun sejak 1651. Danau ini mengelilingi istana, sehingga tempat tinggal Amangkurat itu seperti pulau di tengah danau.

Para penguasa dari pesisir juga dilibatkan dalam proyek ini. Mereka diberi tugas sebagai pengawas, sehingga tidak diperbolehkan pulang ke negerinya masing-masing.

Pembuatan danau ini dilakukan dengan membendung sungai. Pada musim hujan 1661-1662, muncul banjir besar pada tengah malam, bendungan jebol. Pengerjaan danau pun berantakan, membuat Amangkurat I pusing kepala.

Setahun sebelum membangun ibu kota baru, Amangkurat I menemukan kesempatan untuk menghabisi Tumenggung Wiroguno. Ini tumenggung yang istrinya pernah diculik oleh Amangkurat I sebelum naik tahta.

Oohua! Baca juga ya: Ini Sebab Cendrawasih Disebut Burung Surga, oleh Micahel Idol dari Papua Dijadikan Sebagai Karakter Cerita Anak

Begitu naik tahta, ia mengambil hati Tumenggung Wiroguno dengan menaikkan jabatannya. Wiroguno menganggapnya sebagai anugerah raja, tetapi Amangkurat I menganggapnya sebagai taktik.

Pada 1647 daerah taklukan Mataram di ujung timur Jawa, Blambangan, diserbu orang Bali. Amangkurat I berpura-pura marah dan menyatakan hendak berkunjung ke Blambangan.

Namun, pejabat-pejabat pendukungnya tahau keinginan Amangkurat I yang sebenarnya, Mereka pun bermain drama, lalu menyarankan cukup mengutus Wiroguno untuk melihat Blambangan.

Wiroguno pun pergi ke Blambangan, tetapi tidak pernah kembali. Pendukung Amangkurat I membunuh Wiroguno dengan alasan ia tidak menjalankan perintah raja secara tepat. Keluarga Wiroguno pun dihabisi.

Sebelum pergi ke Blambangan, Wiroguno sempat membantu Pangeran Alit melakukan pemberontakan. Pangeran Alit yang gagal merebut posisi putra mahkota pada 1437, melakukan gerakan politik lagi pada 1647 di usianya yang ke-19.

Pada tahun itu ia memerintahkan pendukungnya menyerang alun-alun selatan untuk melaksanakan kudeta. Ia mendapatkan dukungan dari kalangan santri. Namun, pemberontakannya bisa ditumpas oleh Amangkurat I dan Pangeran Alit terbunuh.

Kepada rakyat, Amangkurat I menunjukkan belasungkawa atas kematian Pangeran Alit. Ia gunduli kepalanya, untuk menarik simpati kalangan santri.

Namun, di balik tindakannya itu, ia mencari cara untuk membalas dendam kepada kalangan santri yang telah mendukung adiknya melakukan kudeta-gagal. Ia panggil empat orang kepercayaannya, yang sebaya dengannya, yang telah membantunya sejak ia belum menjadi raja.

Oohya! Baca juga ya: Setelah Bunuh 7.000 Santri dan Kiainya, Amangkurat I Beri Imbalan 3.000 Pikul Beras kepada Kompeni Agar Dibantu Berperang Lawan Trunojoyo

Mereka diinstruksikan untuk menyebar ke empat penjuru angin bersama para pengikut masing-masing. Tugasnya, jangan ada satu pun kalangan santri dan kiai yang luput dari tindakan tegas raja.

Setelah mereka berada di posisi masing-masing, mereka akan bergerak setelah mendapat isyarat istana. Isyarat itu berupa bunyi tembakan senjata.

“Belum setengah jam berlalu setelah bunyi tembakan, 5.000-6.000 jiwa dibasmi dengan cara yang mengerikan,” tulis De Graaf. Hamka menyebut angka sampai 7.000 santri dan kiainya yang menjadi korban tindakan raja ini.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
- Dari Perbendaharaan Lama karya Prof Dr Hamka (1994)
- Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I karya Dr HJ De Graaf (1987)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
oohya.republika@gmail.com

Berita Terkait

Image

Mataram Tutup Pelabuhan, Banjarmasin Punya Benteng Terapung, Apa Gunanya?