Kendeng

Sultan Agung, Negara Api Itu Bernama Mataram

Kompleks pemakaman Joko Tarub dan Bondan Kejawan di Desa Tarub, Tawangharjo, Grobogan. Bondan Kejawan merupakan kakek dari Ki Ageng Selo. Ki Ageng Selo penurun api Kahyangan kepada raja-raja Mataram.

Penaklukan demi penaklukan dilakukan oleh Mataram di bawah kekuasaan Prabu Anyokrokusumo. Ia dikenal sebagai sultan Mataram yang paling agung, dengan gelar Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Agung Prabu Anyokrokusumo Senopati ing Ngalogo Ngabdurahman Sauidin Panata Dinan.

Ia adalah cucu dari Panembahan Senopati, pendiri Mataram. Senopati adalah anak dari Ki Ageng Pemanahan yang merupakan cucu dari Ki Ageng Selo.

Dari Ki Ageng Selolah Mataram bermula sebagai negara api. Hidup di zaman Kerajaan Demak, Ki Ageng Selo telah menangkap api dari langit: petir.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Api ini kemudian disimpan di makam Ki Ageng Selo. Di kemudian hari, api itu selalu diambil untuk keperluan acara gerebeg di keraton.

Oohya! Baca juga ya: Inilah 40 Nama Spesies Cendrawasih Papua yang Didata oleh Alfred Russel Wallacea, Ada Beberapa Ditemukan di Australia

Ki Ageng Selo yang merupakan cicit dari Raja Majapahit terakhir, Brawijaya V. Sebagai anak Bondan Kejawan, ia memiliki keinginan, kelak keturunannya juga akan menjadi penguasa Jawa.

Keberhasilannya menangkap api dari langit menjadi pertanda itu. Setidaknya, itu yang dipahami oleh B Schrieke.

Menurut B Schrieke, api Selo ini mencerminkan “asas kekuasaan yang bersinar”. “Dua kali setahun api dari Kahyangan di Selo diambil sedikit, yang kemudian dibawa ke Keraton Solo, dan di sana ditempatkan pada kobongan kerajaan,” tulis HJ De Graaf mengutip keterangan B Schrieke mengenai api petir itu.

Keraton Solo merupakan pecahan dari kerajaan yang didirikan oleh cicit Ki Ageng Selo: Mataram. “Tetapi apa sebabnya, begitulah orang bertanya, raja-raja Mataram ingin menerima api dari Kahyangan yang justri dari Selo itu,” tulis De Graaf.

Selo terletak di Grobogan. Schrieke, kata De Graaf, menyebut “bukit api yang berlumpur, sumber-sumber garam, dan api abadi yang keluar dari bumi” yang ada di wilayah Grobogan.

Oohya! Baca juga ya: Tinggi Kandungan Litium, akankah Objek Wisata Bleduk Kuwu di Grobogan Ini Dijadikan Areal Pertambangan?

“Ini memang sedikit banyak dapat menjelaskan sifat keapian dalam penggambaran seorang tokoh seperti Ki Ageng Selo,” kata De Graaf.

Untuk menggambarkan hal ini, De Graaf sampai membuat judul bernama “Upacara Api”. Api dari Selo disulu menggunakan sabut kelapa untuk dibawa ke Solo.

Pengambilan api ini melibatkan banyak prajurit, karena perlu arak-arakan besar untuk membawanya ke Solo. Di Solo api itu kemudian disimpan di tempat yang sakral yang dijaga agar menyala, sampai tiba waktu upacara pengambilan api di tahun berikutnya.

WF Stutterheim memiliki gambaran yang lebih khayali dari khayalan Schrieke. Ia menyebut lokasi Selo tidak jauh dari Medang Kamulan, kerajaan yang dipimpin Aji Saka, asal usul dari Mataram kuno.

“Di sana Raffles masih menemukan sisa-sisa sebuah keraton tua. Stutterheim melihat Ki Ageng Selo, yang dikatakannya “orang keramat yang agung dari Selo, seorang raja Syailendra. Kata Syailendra dipecahkannya dalam Syaila (Jawa Kuno, untuk Selo) dan Indra, dewa langit yang membawa halilintar,” tulis De Graaf.

Ketika Senopati, cicit Ki Ageng Selo, menyalaka sinar kekuasaaan negara api Mataram pada 1587, Ki Ageng Selo tidak menyaksikannya, karena sudah meninggal dunia. Prabu Anyokrowati, anak Senopati, menggantikan ayahnya menjadi raja Mataram pada 1601 setelah Senopati meninggal.

Sultan Agung menjadi raja ketiga Mataram pada 1613, menggantikan Anyokrowati. Sultan Agung memiliki Panembahan Puruboyo, kakak dari Anyokrowati, sebagai panglima perang Mataram.

Oohya! Baca juga ya: Kisah Ten Dudas, 10 Duda Penyintas Tsunami Aceh Membangun 200 Rumah Darurat Dibantu Posko Jenggala

Pada masa Sultan Agunglah, sebagai negara api Mataram melakukan penaklukan demi penaklukan bersama Panembahan Puruboyo. Panembahan Puruboyo memimpin angkatan perang Mataram yang cukup ditakuti kerajaan-kerajaan lain di Jawa.

Namun, setelah mengalami dua kali kekalahan dari Kompeni, dearah-daerah taklukan mulau berani memisahkan diri. Sumedang, misalnya, yang pada serangan pertama Mataram ke Batavia pada 1628 ikut mendukungnya, kemudian berbalik arah menjauhi Mataram.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
Awal Kebangkitan Mataram karya Dr HJ De Graaf (1987)