Ketika Penduduk Grobogan Tuntut Irigasi Malah Dicekoki Singkong, Penduduk Cilegon dan Gedangan Sudah Berontak
Pada 1888 petani Banten melakukan pemberontakan, sehingga banyak orang Belanda terbunuh. Pada tahun itu, petani Grobogan masih harus teriak agar dibuatkan saluran irigasi.
Pada 1904 penduduk Gedangan yang melakukan pemberontakan. Awal abad ke-20 itu merupakan masa penduduk Grobogan menunggu realisasi proyek irigasi.
Rencana proyek irigasi di Grobogan selalu timbul tenggelam. Irigasi diperlukan agar penduduk Grobogan tidak mengalami kekeringan yang membuat menjadi masa paceklik.
Oohya! Baca juga ya: Pejabat Berdebat Soal Irigasi di Grobogan, Apakah Penduduk Puas dengan Makan Singkong?
Jika sudah langka beras, pejabat pemerintah kolonial menyarankan penduduk mengonsumsi singkong. Penanaman singkong di Grobogan pada 1900-1901 pun gencar dilakukan.
Stek batang singkong didatangkan dari Srondol, Semarang. Stek itu dibeli dengan harga satu sen per batang.
Di Gedangan, Sidoarjo, tentara Belanda diturunkan untuk mengawasi para pekerja pabrik gula. Tentara itu melepaskan tembakan, sehingga penduduk desa berjatuhan.
Oohya! Baca juga ya: Bencana Kelaparan Membuat Penduduk Grobogan Tinggal 9.000 Jiwa, Ini yang Dilakukan Gubernur Jenderal
Penduduk desa, berpakaian serba putih, pada 4 Mei 1904 mengacung-acungkan senjata tajam. Sebelum terjadi penembakan, mereka bergerak ke arah tentara yang menjaga pabrik gula.
Sebelum ada aksi itu, Belanda telah menemukan surat-surat yang berisi ajakan untuk membunuh orang-orang Belanda. Ajakan itu disebarkan atas nama jihad, sebagai langkah revolusi Jawi.
Asisten Residen ditemukan di selokan. Bersamanya ada penduduk yang telah menyerangnya.
Di Cilegon, Banten, pemberontakan terjadi pada 9 Juli 1888. Lima tahun sebelumnya Krakatau meletus. Saat itu juga muncul serangan hama padi.
Oohya! Baca juga ya: Kemarau Panjang Tanah Retak Bisa Didongkel, Hati Bangsa yang Retak Hendak Diapakan?
Peristiwanya berdekatan. Penduduk lantas mengaitkan kejadian itu sebagai hukuman karena mereka menganggap telah lalai menjalankan printah agama.
Di tahun-tahun itu, memang muncul kelompok pembaharu Islam di wilayah Banten. Sebelum 1880, banyak penduduk Banten yang pulang dari Makkah.
Selebaran-selebaran berisi ajakan mengamalkan hadis tertentu sudah beredar jauh sebelumnya. Selebaran itu mengatasnamakan pesan dari Nabi Muhammad untuk penguasa Makkah.
Di kemudian hari diketahui isi selebaran itu adalah Tanbih al-ghafilin. Ini buku karya Al-Samarkandi.
Dalam bahasa Indonesianya berarti Pengingat bagi Orang-orang yang Lupa. Ini disebut bukan kumpulan hadis sahih.
Oohya! Baca juga ya: Seharusnya Menyesal Jika Belum Sempat Berkunjung ke Air Terjun di Teluk Nusalasi yang Ada di Fakfak Ini
Profesor sejarah di Universitas Princeton, Michael Laffan, mencermati pembertontakan 1888 itu. Menurut dia, kasus itu muncul karena pengetahuan Belanda mengenai Islam sudah ketinggalan zaman.
Ahli-ahli Belanda, menurut dia, hanya terpaku pada teks. Seharusnya mereka juga memahami konteks.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Sejarah Islam di Nusantara karya Michael Laffan (2015)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]