Kendeng

Menurut Diponegoro, Anak Raja Majapahit Ini Pandai Bicara, Mengapa Anak Bidadari yang Tinggal di Grobogan Benci Kepadanya?

Lokasi telaga di Desa Tarub, Grobogan, tempat bidadari mandi. Salah satu bidadari diperistri Joko Tarub, anaknya dinikahkan dengan anak Raja Majapahit yang menurut Diponegoro pandai bicara.

Bangun dari pingsan Dewi Nawangsih lama termangu. Hanya ibunya, bidadari bernama Dewi Nawangwulan, yang ia bayangkan.

Menurut Diponegoro, saat itu Bondan Kejawan terus membujuknya. Bondan Kejawan meminta Nawangsih tidak berpanjang sedih ditinggal pulang oleh Nawangwulan ke Kahyangan.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Anak Raja Majapahit yang dibuang ke Grobogan itu terus berbicara, mengurai kata-kata indah, hingga Nawangsih menegahnya. Kata Diponegoro, Nawangsih mengaku benci kepada orang yang pandai bicara.

Oohya! Baca juga ya: Diponegoro Terserang Malaria, Pindah-Pindah Gubuk Selama Tiga Bulan Bersembunyi di Hutan Hanya Ditemani Dua Punakawan

Di bagian awal babad yang ia tulis, Diponegoro bercerita mengenai legenda Joko Tarub yang beristri bidadari, lalu memiliki menantu anak Raja Majapahit. Bondan Kejawan namanya, tetapi Diponegoro menyebutnya sebagai Bondan Surati.

Nawangsih yang bersedia dinikahkan dengan Bondan Kejawan meminta kepada ayahnya, Joko Tarub, untuk menghadirkan Nawangwulan, yang sudah tinggal di Kahyangan lagi sejak ia masih bayi.

Setelah menerima sembah sungkem dari Nawangsih dan Bondan Kejawan, Nawangwulan menghilang, kembali lagi ke Kahyangan. Saat itulah Nawangsih jatuh pingsan.

"Aduh masmirah jiwaku, janganlah berpanjang-panjang. Lihatlah kskakmu ini," ujar Bondan Kejawan kepada Nawangsih yang belum juga berbicara setelah sekian lama terbangun dari pingsannya.

Bondan Kejawan terus berbicara memancing Nawangsih agar mau berbicara. Kata-kata manis terus ia ungkapkan untuk menegaskan tiada orang yang ia pedulikan selain Nawangsih.

"Aduh Dinda, berkata-katalah, sapalah kakakmu ini, agar jangan sampai terjadi seperti yang tertulis dalam kitab bahwa tidak ada imbangan kata-kats lagi," kata Bondan Kejawan.

Oohya! Baca juga ya: Ketika Diponegoro Memberi Wewenang kepada Militer untuk Memungut Pajak, Mengapa Ada Hukuman Cambuk?

Nawangsih tetap diam. Masih termangu-mangu. Bondan Kejawan heran, Nawangsih seperti tidak mengenalinya.

"Bagaimanakah gerangan mustika kemala, ratna yang sangat cantik ayu pujaan kalbuku, keturunan dari surga dan keturunan dari Tarub, hilangkanlah kesedihan hatimu, sapalah orang yang sedang berkata ini masmirahku," lanjut Bondan Kejawan.

Karena Nawangsih terus diam, sampai-sampai Bondan Kejawan mengira sedang marah. Karena itu, ia bersedia menjadi tempat meluapkan amarahnya.

Lalu Bondan Kejawan bercerita mengenai kesedihan yang pernah ia alami sebelumnya. Yaitu ketika Nawangsih marah karena tidak terima digoda Bondan Kejawan.

Saat itu Bondan dirundung sedih seperti kesedihan orang yang hampir mati. Tapi kesedihan sekarang karena ia tidak dikenali oleh Nawangsih, maka ia tidak takut lagi jika memang harus mati.

"Begitu mendengar kata-kata Raden Bondan Surati, Dewi Nawangsih tersenyum," tulis Diponegoro yang diterjemahkan oleh Amen Budiman.

Rupanya, kerelaan mati Bondan Kejawan demi Nawangsih membuat Nawangsih terhibur, melambung hatinya. "Benci sekali aku pada orang yang pandai bicara," kata Nawangsih.

Oohya! Baca juga ya: Kata Diponegoro, Anak Raja Majapahit yang Dibuang ke Grobogan Sungkem kepada Bidadari Sang Ibu Mertua untuk Dapat Restu

Meski melontarjan kebencian, tapi intonasi yang terdengar oleh Bondan Kejawan bukanlah intonasi kebencian. Melainkan gurauan.

Hati anak Raja Majapahit itu pun berbunga-bunga karena bisa menghilangkan kesedihan hati anak bidadari atas kepergian ibunya, Nawangwulan.

Nawangsih telah melupakan semua kejadian bersama Nawangwulan. Bahkan ia ingin mengetahui keindahan alam.

"Raden Bondan Surati bagaikan menemukan batu mustika sebesar gunung Adam," tulis Diponegoro.

Bondan Kejawan pun membopong Nawangsih, lalu dibawa ke telaga. Mereka bermain di telaga dengan cerita.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Babad Dipanegara Jilid 1 karya Diponegoro, diterjemahkan oleh Amen Budiman (1980)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]

Berita Terkait

Image

Ini Syarat Gelar Pahlawan Nasional, Bupati Grobogan Ini Memenuhi?

Image

Bikin Trilogi Pedesaan, Layakkah Bupati Grobogan Ini Jadi Pahlawan Nasional?

Image

Siapa yang Layak Jadi Pahlawan Nasional dari Grobogan?