Potensi Konflik Horizontal di Tambang Ormas Keagamaan
Tambang untuk organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan berpotensi munculkan konflik horizontal. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) bahkan menyebutnya sebagai praktik politik adu domba.
“Sudah jelas, berbagai pengalaman di lapangan membuktikan bahwa berbagai pengikut ormas keagamaan ini telah menjadi korban dari pertambangan itu sendiri, ada yang dikriminalisasi bahkan dibunuh karena menolak pertambangan,” kata Sekjen Kiara Susan Herawati, Jumat (14/6/2024).
Pada 30 Mei 2024, Presiden Joko Widodo mengundangkan Peraturan Pemerintah (PP) No 25 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam peraturan tersebut terdapat eksklusivitas untuk ormas keagamaan.
Oohya! Baca juga ya:
Jamaah Haji Padat, Bisa Kesulitan Oksigen di Depan Hajar Aswad
Eksklusivitas itu berupa mendapatkan wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK), dengan dalih untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Penawaran prioritas WIUPK kepada Ormas Keagamaan terdapat Pasal 83A yang merupakan pasal yang disisipkan dalam PP No. 25 Tahun 2024.
Pasal 83A itu menyebut, dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada badan usaha yang dimiliki oleh ormas keagamaan. WIUPK yang dimaksud dalam konteks tersebut adalah WIUPK bekas Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), dan tidak dapat dipindahtangankan dan/atau dialihkan tanpa persetujuan menteri.
Kiara menilai, PP No 25 Tahun 2024 adalah permasalahan baru. Pertambangan mineral dan batubara selama ini telah terbukti merusak lingkungan, baik perusakan lingkungan di darat maupun laut.
“Kami melihat bahwa PP Nomor 25 Tahun 2024 tersebut semakin melegitimasi perusakan lingkungan yang dibungkus dengan narasi peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya ormas keagamaan,” kata Susan.
Kiara mengapresiasi ormas keagamaan yang telah menyatakan sikap menolak tawaran pemberian WIUPK. Sikap tegas menolak tawaran WIUPK itu sejalan dengan upaya penyelamatan lingkungan sebagaimana yang diajarkan dalam berbagai agama.
Oohya! Baca juga ya:
Kerugian Kompeni dan Perang Jawa Ditutup Berlipat Lewat Tanam Paksa
Beberapa yang telah menolak Muhammadiyah, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Jaringan Gusdurian pun menolak dengan menyatakan, semasa Gus Dur –yang pernah memimpin PBNU-- menjadi presiden, tidak memberikan WIUPK kepada ormas keagamaan.
Ormas keagamaan yang telah menerima WIUPK adalah Nahdlatul Ulama (NU). Sedangkan yang lainnya belum menyatakan sikap tegasnya terkait penawaran WIUPK.
Kiara mendorong ormas keagamaan lain untuk tetap kritis. Pun diharapkan tetap mengutamakan tugas dan fungsi sebagai ormas keagamaan dalam membina umat dan melindungi lingkungan hidup sebagaimana yang diajarkan dalam setiap agama.
Kiara mencatat, ormas keagamaan Muhammadiyah dalam legal opinion (2024) menjelaskan bahwa aktivitas pertambangan memiliki risiko terhadap rusaknya lingkungan. Hal itu akan berdampak kepada rusaknya ekosistem dan lingkungan di sekitar pertambangan serta lingkungan sosial karena aktivitas pertambangan sering menimbulkan konflik.
Maka, konflik horizontal berpotensi muncul jika ormas keagamaan mengelola tambang. Penolakan dari PP Muhammadiyah telah sesuai dengan upaya perlindungan lingkungan dalam Alquran, yaitu:
1) Al-A'raf ayat 56 yang menyebutkan bahwa “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.”
Oohya! Baca juga ya:
BPOM Revisi Peraturan Kemasan Pangan, BSN Sebut Ada 33 SNI Kemasan Pangan
2) Al-Baqarah ayat 205, artinya: “Apabila berpaling (dari engkau atau berkuasa), dia berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi serta merusak tanam-tanaman dan ternak. Allah tidak menyukai kerusakan.”
3) Shad ayat 28, artinya: “Apakah (pantas) Kami menjadikan orang-orang yang beriman dan beramal saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di bumi? Pantaskah Kami menjadikan orang-orang yang bertakwa sama dengan para pendurhaka?”
4) Ar Rum ayat 41, artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
HKBP dalam pernyataan pers Ephorus HKBP menyebutkan, HKBP ikut bertanggung jawab menjaga lingkungan hidup yang telah dieksploitasi umat manusia atas nama pembangunan sejak lama. Hal itu terbukti menjadi salah satu penyebab utama kerusakan lingkungan hingga pemanasan bumi.
HKBP menyatakan, “Allah memberikan kuasa kepada manusia untuk memelihara dunia ini dengan tanggung jawab penuh. Kita menyaksikan tanggung jawab manusia untuk melestarikan semua ciptaan Allah supaya manusia dapat bekerja, sehat, dan sejahtera (Mzm 8:4-10).”
Oohya! Baca juga ya:
Hari Laut Sedunia, Kiara: Tambang Kian Pinggirkan Masyarakat Pesisir
Lebih lanjut, HKBP menyatakan, “Kita menentang setiap kegiatan yang merusak lingkungan, seperti membakar dan menebang pohon di hutan atau hutan belantara (Ul. 5:20; 19-20)."
"Kita menentang setiap usaha yang mencemari air dan udara, juga air limbah yang mengandung racun dari pabrik-pabrik, karena tidak memedulikan saluran air limbah dan pencemaran udara, hingga merusak air minum dan pernafasan manusia (polusi/pencemaran lingkungan) (Mzm 104:1-23; Wahyu 22:1-2),” lanjut pernyataan HKBP.
Susan menyatakan, perjuangan masyarakat untuk bebas dari pertambangan yang telah menghancurkan kehidupan mereka seharusnya didukung oleh berbagai pihak. Ormas keagamaan menjadi salah satu yang seharusnya mendukung upaya itu. “Di mana mayoritas masyarakat di Indonesia merupakan anggota dari berbagai ormas keagamaan,” kata Susan.
Menurut Susan, tidak ada kehidupan tanpa lingkungan yang sehat, terjaga, dan berkelanjutan. Salah satu yang terbukti telah merusak lingkungan baik di darat, laut maupun pulau-pulau kecil adalah aktivitas pertambangan.
Itulah sebabnya, Kiara berharap ormas keagamaan berani menolak tawaran tambang itu. Ada hal yang harus diperjuangkan demi kesejahteraan masyarakat, yaitu kelestarian lingkungan, darupada nanti malah memunculkan konflik horizontal.
Terutama saat ini masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil tengah memperjuangkan wilayahnya untuk tidak ditambang. Baik itu untuk tambang mineral maupun tambang pasir laut, seperti yang tengah terjadi di Kabupaten Demak, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Karawang, di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Balikpapan untuk supply material pembangunan IKN, serta di Kepulauan Natuna. Korbannya adalah masyarakat pengikut ormas keagamaan.
Ma Roejan