Jamaah Haji Padat, Bisa Kesulitan Oksigen di Depan Hajar Aswad
Setelah perluasan, Masjidil Haram mampu menampung dua juta jamaah. Masih cukup untuk menanpung 1,5 juta jamaah haji tahun 2024, jumlah yang sama dengan jamaah haji pada 2010 ketika daya tampung Masjidil Haram masih 950 ribu jamaah.
Pada 2019, jumlah jamaah haji mencapai 2,4 juta. Dengan jumlah jamaah haji yang cukup banyak itu, pelataran Ka’bah tentu juga akan dipadati oleh jamaah, baik yang shalat maupun yang sedang tawaf.
Saat jamaah haji cukup padat, betapa sulitnya menggapai lokasi Hajar Aswad. Kesulitan oksigen pun bisa terjadi di tengah jamaah yang berdesak-desakan melakukan tawaf itu.
Oohya! Baca juga ya:
Saya pernah mengalaminya pada 2010, ketika Masjidil Haram semakin padat jamaah. Ketika jamaah masih sedikit, saya berkesempatan mencium Hajar Aswad dengan cara antre.
Begitu jamaah semakin padat, mencum Hajar Aswad adalah upaya yang perlu tenaga, kesabaran, dan keikhlasan. Meski sudah berada di barisan dalam sisi Ka’bah saat tawaf, bisa saja tiba-tiba terpental jauh keluar karena didesak oleh rombongan jamaah yang memiliki fisik yang kuat.
Saya juga pernah mengalami terlempar keluar dari barisan tawaf saat ada rombongan jamaah tinggi besar saling pegang pudak atau pinggang berbaris menerobos jamaah lain. begitu mereka berada di sisi kiri saya, seketika mengubah arah saya, sehingga tiba-tiba saya berada di Hijir Ismail.
Saya mencoba masuk barisan tawaf lagi pelan-pelan, hingga akhirnya bisa berada di tengah-tengah barisan jamaah. Semula saya hanya berada di barisan terluar tawaf agar tidak berjejal-jejal dengan jamaah lain.
Sebelum terlempar dari barisan jamaah yang tawaf, semula saya hanya tawaf di barisan bagian luar, karena tidak mau berjejalan. Tapi entah kenapa tiba-tiba muncul ide untuk menguji kekuatan fisik, ingin tahu rasanya mengelilingi Ka’bah sambul berusaha mendekati Hajar Aswad dengan cara berjejalan.
Oohya! Baca juga ya:
Kerugian Kompeni dan Perang Jawa Ditutup Berlipat Lewat Tanam Paksa
Saya niatkan masuk ke tengah barisan. Saya ingin tahu rasanya berdesak-desakan terbawa arus mengelilingi Ka’bah untuk bisa mencium Hajar Aswad.
Saya pernah mengalami rasanya berdesak-desakan pada saat perploncoan. Tapi tidak dalam posisi berkeliling melainkan hanya berputar di tempat karena dikelilingi oleh para senior. Di tengah, para para plonco hanya berputar di tempat, mencari posisi yang nyaman bagi tubuh.
Perlu energi yang cukup untuk tawaf dengan jamaah haji yang berdesak-desakan di antara beragam ukuran fisik jamaah. Kadang bisa berjalan nyaman, karena barisan sedang longgar, tapi tiba-tiba berdempet-dempetan ketika ada dorongan dari belakang.
Maka, saya harus mengamankan posisi dada agar tidak tergencet olah jamaah haji lain hingga mencapai posisi Hajar Aswad. Kedua tangan saya tekuk di depan dada, sehingga ketika ada dorongan dari belakang, tangan itu tetap memberi ruang pada dada karena yang berhimpitan dengan punggung jamaah di depan adalah kedua tangan.
Cara ini saya dapat saat perploncoan di masa menjadi mahasiswa dulu. Selama mengikuti perploncoan, senior mengajarkan teknik menghadapi tekanan fisik dari para senior agar dada memiliki ruang yang cukup untuk mendapatkan oksigen.
Jika plonco disuruh menutup mata dengan kain, lalu para senior mengelilinginya, itu pertanda para plonco harus segera menekuk kedua tangan di depan dada. Ketika para senior yang mengelilingi para plonco itu merangsek kea rah dalam, maka para plonco akan berdesak-desakan dan dada akan telindungi oleh kedua tangan yang ditekuk di depan dada.
Oohya! Baca juga ya:
BPOM Revisi Peraturan Kemasan Pangan, BSN Sebut Ada 33 SNI Kemasan Pangan
Bergerak ritmik mengelilingi Ka’bah, lantunan istighfar terus menggema. Kedua tangan melindungi dada. Ini benar-benar nikmat.
Posisi seperti itu membuat saya saya bisa terhindar dari tindakan mendorong jamaah lain. Jamaah diharapkan tidak saling mendorong atau menyakiti orang lain saat tawaf. “Tawaf di seputar Ka’bah seperti halnya shalat,” kata Rasulullah.
Tetapi saya tetap harus waspada agar saya tidak mendorong atau menyikut jamaah lain. Ketika dari belakang ada dorongan kuat, saya mencoba mengikutinya untuk terus bergerak agar tidak terlempar lagi keluar dari barisan.
Selalu berupaya cara agar terlempar ke sisi Ka’bah. Keseimbangan badan memang betul harus di jaga. Apalagi badan saya cukup kecil dibandingkan jamaah lain.
Dalam gerak ritmik itu saya terus ikut dalam arus tawaf. Hingga akhirnya saya bisa berada di sisi Ka’bah dan bisa mengusap sudut Rukun Yamani.
Oohya! Baca juga ya:
Lulusan Terbaik FMIPA UPI Sediakan Makan Gratis Jumat Siang
Saya berkeliling satu putaran lagi setelah menutup tawaf. Tujuannya menggapai Hajar Aswad dengan cara menempel di dinding Ka’bah dari Rukun Yamani.
Di sisi Ka’bah dari Rukun Yamani hingga Hajar Aswad ada beberapa joki yang menawarkanbantuan untuk bisa mencium Ka’bah. Yang menerima tawaran mereka, lalu naik ke syaadzawaan, batu fondasi Ka’bah.
Posisi itu membuat mereka bisa bergerak ke Hajar Aswad tanpa terkena risiko didedak oleh jamaah lain. Saya berjalan menempel sisi Ka’bah berdampingan dengan kaki-kaki mereka.
Begitu dekat dengan Hajar Aswad, saya mencoba menggapainya dengan tangan, sebagai maksud untuk menahan jamaah lain tidak memotong gerak saya. Tapi, posisi saya belum leluasa untuk segera bergerak ke depan Hajar Aswad.
Jamaah di depan saya bahkan terlempar keluar menjauh dari Hajar Aswad yang sudah di depan mata dia. Saya sudah mulai kesulitan bernapas, seolah tidak ada oksigen di sekeliling saya, sambil hanya bisa mengusap-usap Hajar Aswad.
Ketika hendak mengarahkan kepala ke Hajar Aswad, dari atas saya joki mengayunkan badannya ke bawah, menghalangi wajah saya. Jamaah haji yang menyewa jasanya untuk bisa mencium Hajar Aswad menurunkan kepalanya ke arah Hajar Aswad.
Oohya! Baca juga ya:
Didebat Tan Malaka, Bung Karno Sudahi Pertemuan Romusa di Banten
Saya ingin menghalangi joki dan jamaah itu dengan cara sedikit merundukkan badan agar bisa masuk ke rongga kosong di depan badan mereka. Tapi ada daya, saya semakin kesulitan bernapas, seolah semakin tipis oksigen di sekitar saya.
Daripada saya pingsan di samping Hajar Aswad, saya memilih mundur, mencari udara segar. Pelan-pelan bergerak ke arah multazam.
Badan terasa semakin lemas, keringat membasahi badan. Tak mungkin kuat memotong arus tawaf dari depan multazam.
Saya mengikuti arus tawaf agar bisa terlempar keluar dari barisan. Benar, saya terlempar ke arah Hijir Ismail lagi. Agak longgar, sehingga bis abergerak kea rah Maqam Ibrahim.
Saya beristirahat sebentar di Maqam Ibrahim, begitu ada kesempatan meninggalkan Maqam Ibrahim saya melakukannya. Dengan hati-hati saya melangkah, agar tidak melangkahi jamaah yang sedang bersujud dan tidak menghalangi jamaah yang akan bersujud.
Priyantono Oemar