Lincak

Kerugian Kompeni dan Perang Jawa Ditutup Berlipat Lewat Tanam Paksa

Dari tanam paksa, Belanda mampu menutup kerugian akibat Perang Jawa (Diponegoro), Perang Belgia, bahkan kerugian Kompeni yang bangkrut pada 1799.

Rugi 20 juta gulden akibat Perang Jawa --yang dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro selama lima tahun-- tak berarti bagi Belanda. Sebab setelah itu, Belanda mengeruk 30 juta gulden per tahun dari sistem tanam paksa untuk menutup kerugian itu.

Rugi 120 juta gulden --yang membuat Kompeni bangkrut pada 1799-- juga tak berarti bagi Belanda. Sebab setelah 12 tahun tanam paksa sejak 1831, Belanda bisa mendapatkan dua miliar gulden.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

"Mengisi defisit yang ditinggalkan oleh Perang Belgia dan membantu membayar proyek-proyek pekerjaan umum serta membentuk dana cadangan," kata A Cabaton di buku Sejarah Super Lengkap Hindia Belanda.

Oohya! Baca juga ya:

BPOM Revisi Peraturan Kemasan Pangan, BSN Sebut Ada 33 SNI Kemasan Pangan

Selain harus menghadapi Perang Jawa, Belanda juga harus menghadapi Perang Belgia. Perang ini berakhir dengan kemerdekaan Belgia pada Juli 1831.

Berbeda dengan Perang Belgia, Perang Jawa tidak berhasil membawa Jawa merdeka. Perang berhenti setelah Pangeran Diponegoro ditangkap dan dibuang.

Pada mulanya, yang menjajah Indonesia adalah Kompeni. Kompeni tak berkeinginan membagi wilayah koloninya dengan Kerajaan Belanda.

Kompeni, kata Cabaton, mencapai puncak kejayaannya pada 1654-1678. Pada masa Kompeni, Indonesia disebut sebagai Hindia Timur.

Oohya! Baca juga ya:

Lulusan Terbaik FMIPA UPI Sediakan Makan Gratis Jumat Siang

Setelah Kompeni bangkrut, Kerajaan mengambil alih. Indonesia lalu disebut sebagai Hindia Belanda.

"Pada tahun 1798 Kerajaan Belanda mengambil alih posisi Kompeni dan mulai menyita sebagian besar kekayaan Hindia Belanda," kata Cabaton.

Selama seabad sejak 1678, Kompeni tak berhasil menperbaiki diri. Tapi setelah Kerajaan Belanda mengambil alih Indonesia, Kerajaan juga tidak menperbaiki kesalahan Kompeni.

Kerajaan Belanda juga menindas bangsa Indonesia, sebagaimana halnya agen-agen Kompeni melakukan penindasan. Eksploitasi terus berlanjut, sehingga memunculkan pemberontakan dari bangsa Indonesia.

Pembaharuan dilakukan Gubernur Jenderal Darndels dejak 1808. Yaitu lewat pembangunan infrastruktur, tetapi harus terhenti setelah Inggris berhasil menyingkirkan Daendels.

Meski Belanda berhasil kembali menguasai Hindia Belanda, tak lama setelah itu harus menghadapi Perang Jawa. Perang yang dikobarkan Diponegoro itu membuat Belanda mengalami kerugian secara ekonomi pada mulanya, tapi lalu ditutup oleh penghasilan dari tanam paksa.

Oohya! Baca juga ya:

Hari Laut Sedunia, Kiara: Tambang Kian Pinggirkan Masyarakat Pesisir

Untuk memperbaiki keadaan, setelah Perang Jawa usai, diberlakukanlah tanam paksa. Setiap tahun mendapatkan 30 juta gulden dari tanam paksa, kas Kerajaan Belanda terisi lagi.

"Van den Bosch memiliki cara menenangkan hati para pemimpin untuk melegalkan peranpasan ini, menarik mereka ke dalamnya dengan bonus besar dari panem yang berada di bawah pemerintahan mereka," kata Cabaton.

Van den Bosch ditunjuk menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda sejak 1830 hingga 1834. Sistem tanam paksa dilanjutkan oleh gubernur-gubernur jenderal berikutnya.

Perlu waktu lama untuk menghentikan tanam paksa ini setelah mendapat beragam kritik. Baru pada 1860 Belanda menghalus sistem perbudakan di Indonesia.

Dan baru pada 1873 Belanda memikirkan politik etis. Yaitu politik balas budi untuk melindungi dan mendidik bangsa Indonesia.

Tanpa menjalankan perbudakan lewat sistem tanam paksa, Belanda tak mungkin bangkit dari keterpurukan akibat Perang Belgia dan Perang Jawa.

Ma Roejan

Berita Terkait

Image

Siapa Pakualam, Pangeran Yogyakarta yang Mendapat Hadiah Tanah di Grobogan dari Raffles?

Image

Di Grobogan Ada Tanah yang oleh Raffles Dihadiahkan kepada Pakualam