Halal Bihalal Dulu Disebut Alal Bahalal, Organisasi Katolik Juga Adakan Alal Bahalal untuk Rayakan Natal
Lebaran akan tiba sekitar empat bulan lagi dan Natal sekitar sebulan lagi. Umat Islam merayakan Lebaran dengan menggelar acara halal bihalal.
Pada 1920-an, kalangan Katolik di Jawa ternyata juga mengadakan halal bihalal. Dulu namanya masih alal bahalal, atau halal behalal, atau alal balal.
Alal balal disebut di buku Economische Beschrijven III yang terit pada 1929. Buku ini bercerita tentang kondisi perekonomian di Kelurahan Sidoarjo, Kecamatan Kabonongan, Kabupaten Bantul.
Di dalamnya diseinggung acara alal bahal yang diadakan di Kauman. Menurut buku itu, yang alal balal diadakan untuk merayakan riyaya atau ariyaya atau riyadi di Kauman.
Riyaya, ariyaya, dan riyadi adalah bahasa Jawa untuk menyebut Lebaran. Disebut juga bakda.
“Orang-orang pergi ke sana untuk menyampaikan salam. Pada kesempatan itu, warga Kauman menyuguhkan kue apem dan kue cucur,” tulis buku itu.
Koran De Locomotief menyebut, acara alal bahalal merupakan tradisi lama di Jawa. Muslim di Jawa terlebih dulu menetapkan hari Lebaran.
“Mereka kemudian melakukan alal bahalal pada hari itu dan juga hari-hari berikutnya sebagai tanda rekonsiliasi timbal balik,” tulis De Locomotief.
Masyarakat Jawa, menurut De Locomotief, memiliki tradisi mengunjungi kerabat dan kenalan setahun sekali, yaitu pada saat Lebaran itu. Ini dilakukan untuk saling meminta maaf atas hinaan dan kesalahan yang dilakukan.
Koran yang terbit di Semarang itu memberitakan acara alal bahalal. Tapi alal bahalal yang diadakan oleh kalangan Katolik pribumi pada Natal 1927.
Saat itu di Jawa ada perkumpulan Katolik yang disebut Poesara Katholieken Wandawa (PKW) yang memiliki 26 kepengurusan di berbagai daerah di Pulau Jawa. PKW beroperasi dengan nama Katholika Wandawa (KW).
Menurut koran itu, PKW dan KW menyadari, alal bahalal yang dijalankan Muslim merupakan tradisi yang indah. Tradisi itu dianggap oleh PKW dan KW sangat sesuai dengan prinsip-prinsip Katolik.