Orang Cina Peranakan dan Bahasa Indonesia
Sebagian besar orang Cina peranakan di Hindia Belanda tinggal di pantai utara Jawa. Mereka menggunakan bahasa Melayu-Cina.
Menurut penelusuran pustaka oleh Leo Suryadinata, di penghujung abad ke-19, bahasa Melayu-Cina ini di Batavia kemudian dikenal sebagai bahasa Melayu-Betawi. Bahasa Melayu-Cina ini pula yang dipakai oleh orang-orang Cina peranakan di bagian Jawa lainnya.
Koran-koran Melayu-Cina juga menggunakan bahasa Melayu-Cina. namun, banyak koran Melayu-Cina yang orientasinya adalah nasionalisme Cina, bukan nasionalisme Hindia-Belanda.
Pada 1926, M Tabrani pernah marah kepada Volksraad karena mengabaikan koran-koran berbahasa Indonesia dan koran-koran berbahasa Melayu Cina. Itu berkaitan dengan ssidang-sidang Volksraad yang dilakukan dalam bahasa Belanda, tidak mengundang koran-koran Indonesia dan Melayu Cina, serta risalah sidang-sidang Volksraad untuk pers dikeluarkan dalam bahasa Belanda.
Menurut tabrani, sudah seharusnya Volksraad bersidang menggunakan bahasa Indonesia. Sebab, keberadaan Volksraad seharusnya adalah untuk bangsa Indonesia, bukan bangsa Belanda.
Keberadan orang Cina di Hindia Belanda, baik yang totok maupun yanag peranakan, oleh Belanda dikategorikan sebagai bangsa Timur Asing, menjadi bangsa kelas dua. Orang Indonesia, yang disebut pribumi, menjadi bangsa kelas tiga.
Orang-orang Eropa menjadi bangsa kelas satu di Hindia Belanda. Orang-orang Cina tidak bersedia menjadi warga negara Hindia Belanda, karena akan membuat mereka turun derajat.
Jadi, mereka tetap menjunjung tanah leluhur mereka. Namun, memasuki abad ke-20, muncul kesadaran baru di kalangan Cina peranakan.
Ada kelompok Cina peranakan yang ingin menjadi wraga negara Hindia Belanda. Kelompok ini kemudian bersedia mengirimkan wakilnya untuk duduk di Volksraad.
Koran Melayu-Cina, Sin Po, pun mengkritik keinginan itu. Sin Po menyebut negeri Cina tetap menganggap Cina peranakan yang tinggal di Hindia Belanda tetap warga negara Cina.