Bahasa Arab di Indonesia Kini, Berkaca Pada Kakek Anies Baswedan
Oleh Priyantono Oemar, Bergiat di Komunitas Jejak Republik
Sumpah Pemuda 1928 menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Rancangan UUD 45 menyebut bahasa Indonesia sebagai bahasa kebangsaan, lalu ketika disahkan menjadi UUD 45, bahasa Indonesia disebut sebagai bahasa negara. Kakek Anies Baswedan, AR Baswedan --yang berasal dari suku Arab, telah memilih menggunakan bahasa Indonesia di rumah.
Saat itu ada tiga bahasa besar di Indonesia, yaitu bahasa Jawa, bahasa Melayu, dan bahasa Belanda. Cipto Mangunkusumo sempat mengusulkan bahasa Belanda sebagai bahasa nasional dan Mr Westerveld justru mengusulkan bahasa Jawa sebagai bahasa nasional. Menurut Cipto, bahasa Jawa tidak cocok untuk mengungkapkan kebenaran, lebih cocok untuk memuji. Sedangkan Ki Hajar Dewantoro, dan kemudian Muh Yamin, mengusulkan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional.
Wartawan Tabrani mengusulkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan pada Februari 1926. Ia tak mau memilih bahasa yang sudah ada karena tak ingin muncul imperialisme bahasa yang membuat satu bahasa daerah menjadi dominan terhadap bahasa daerah yang lain.
Di dalam sidangnya pada 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memutuskan, bahasa Indonesia yang disebut sebagai bahasa kebangsaan di Rancangan UUD 45 diubah menjadi bahasa negara di Pasal 36 UUD 45: Bahasa Indonesia ialah bahasa negara. Apa komentar AR Baswedan, anggota PPKI bersuku bangsa Arab di rapat PPKI pada 18 Agustus 1945?
“Saya sendiri di dalam rumah tangga saya berbahasa Jawa, sebab istri saya berasal dari Jawa Timur, tetapi untuk mendidik kebangsaan Indonesia, saya memakai bahasa kebangsaan Indonesia sekarang. Dengan demikian bolehlah dikatakan bahwa sama sekali tidak ada perbedaan lagi antara golongan Arab –atau orang yang dinamai golongan Arab—dengan bangsa Indonesia,” ujar AR Baswedan, pendiri Partai Arab Indonesia (PAI) pada 1934.
Di masa penjajahan Belanda, oleh pemerintah Hindia Belanda, orang Arab dan juga orang Cina disebut sebagai bangsa Timur Asing. Menurut AR Baswedan, peranakan Arab dan Arab totok pada masa itu tidak lagi menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pergaulan.
Di Sumatra pada masa itu, bahasa Arab telah menyumbang banyak kata bagi bahasa Melayu. Kata-kata itu kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia, ketika bahasa Indonesia diterbitkan sebagai bahasa persatuan. Jika bahasa Melayu mendapat banyak sumbangan dari bahasa Arab, bahasa Jawa mendapat sumbangan dari bahasa Sanskerta. Kata-kata Sanskerta yang sudah diserap ke dalam bahasa Jawa, kemudian juga menjadi sumbangan berharga bagi bahasa Indonesia.
Kini, tak perlu harus menjadi orang yang berbahasa ibu bahasa Melayu untuk bisa menggunakan kata-kata dari bahasa Arab. Yang berbahasa ibu bahasa Jawa pun banyak yang menggunakan kata-kata Arab dalam pergaulannya. Jika ada kabar teman sakit di grup aplikasi komunikasi, orang-orang langsung mengirim komentar berupa doa: syafakillah, alih-alih menggunakan komentar cepat sembuh atau semoga cepat sembuh.
Cepat sembuh dianggap sebagai komentar tak bersubjek, berbeda dengan syafakillah yang berarti: Semoga Allah menyembuhkanmu. Lalu yang sakit membalas dengan kata syukron akhi/ukhti, alih-alih mengucap terima kasih. Jika ada yang berkabar akan bepergian, maka yang lain segera berkomentar fi amanillah, alih-alih berujar Semoga selamat sampai tujuan. Ada juga yang menimpali dengan kata-kata bahasa Inggris: safe flight atau take care.
Syafakillah, fi amanillah, syukron, qodarullah, sudah sering digunakan, menyusul ana, antum, ukhti, akhi yang sudah lebih dulu dipakai dalam bahasa pergaulan orang-orang tertentu. Ana, ukhti akhi, sudah masuk KBBI.
Kalaupun mereka akan menggunakan bahasa Indonesia, sepertinya mereka malu, oleh karena itu mereka memilih menggunakan bahasa Arab. Maka, sikap saya, kalaupun saya ingin menggunakan kata-kata dalam bahasa Arab, saya tidak mau selama sudah ada bahasa Indonesianya, sepertiyang dulu dilakukan oleh kakek Anies Baswedan, AR Baswedan. []