Ditinggal Lari Amangkurat I, Begini Keadaan Keraton Mataram Setelah Dikuasai Pasukan Trunojoyo
Ajakannya untuk berunding ditolak Trunojoyo, Laksamana Cornelis Speelman lalu menggempur Surabaya pada Mei 1677. Speelman berada di Surabaya sejak April, tetapi sejak April pula, pasukan Trunojoyo sebanyak 100 ribu orang sudah menyiapkan diri menyerbu ibu kota Mataram, Plered.
Pasukan Trunojoyo mendapat bantuan 50 ribu orang dari Grobogan, Demak, Kudus, Pati, Semarang, Kaliwungu, Kendal. Ketika pada Juli 1677 Speelman, ia mendapat pemberitahuan bahwa Keraton Mataram sudah dikuasai pasukan Trunojoyo dan Susuhunan Amangkurat I sudah meninggalkan keraton.
Residen Jepara Van der Schuyr setelah mendapat laporan dari Plered, segera menulis surat untuk Speelman tertanggal 30 Juni 1677. Amangkurat I telah meninggalkan keraton pada 28 Juni 1677.
Oohya! Baca juga ya:
Kurangi Sampah Plastik, BSN Tetapkan SNI PET Daur Ulang Dukung Target Indonesia Bersih Sampah 2025
Ia membawa semua pusakanya, kecuali yang berat. Pusaka Kiai Setomi ia tinggalkan karena berat. Kiai Setomi adalah meriam.
Ia juga harus meninggalkan harta kekayaan senilai 350 ribu ringgit. Para wanita yang cantik-cantik juga ia tinggalkan. Pasukan Trunojoyo masuk keraton setelah Amangkurat I pergi.
Tembakan-tembakan yang dikeluarkan membumihanguskan Plered. Hampir semua rumah pembesar terbakar.
“Yang tidak terbakar hanyalah keraton itu sendiri, masjid besar, istana Pangeran Purboyo, istana Pangeran Sampang, istana Pangeran Cirebon, dan istana Pangeran Aryo Panular,” tulis De Graaf.
Aryo Wangsenggati kemudian mengambil harta kekayaan dan para wanita cantik itu. “Hasil rampasan luar biasa banyaknya diangkut dengan kereta dan hewan,” tulis De Graaf.
Oohya! Baca juga ya:
Wangsenggati adalah salah satu pemimpin pasukan Trunojoyo yang menyerbu Plered. Selain dia, ada juga Adipati Wiramenggala, Aryo Supotro, Langispati, dan Demang Angantaka.
“Hanya meriam-meriam berat dan wanita tua yang ditinggalkan,” tulis HJ de Graaf. Saat itu Mataram memiliki 10 meriam besar dan 20 ribu prajurit, tapi karena tidak dipimpin oleh orang yang kuat, maka meeka tidak bisa mempertahankan keraton.
Pasukan Trunojoyo yang benar-benar menyerbu masuk ke keraton hanya 1.000 prajurit Madura dan sekitar 20 ribu-25 ribu orang Jawa yang ikut-ikutan. Wiramenggala kemudian menempati istana Pangeran Aryo Panular, sedangkan Mangkuyuda dan Angantaka menempati keraton.
Peperangan Madura-Mataram ini diselingi dengan perselisihan Putra Mahkota dengan kedua adiknya, Pangeran Puger dan Pangeran Singosari. Putra Mahkota kemudian ikut melarikan diri bersama Amangkurat I.
Amangkurat I sempat menginap di Imogiri dengan penjagaan oleh 1.000 prajurit. Ketika ia harus melanjutkan perjalanan, ia harus meninggalkan anaknya yang masih berusia 12 tahun karena sakit.
Di Karanganyar rombongan Amangkurat I dirampok. Kendati Amangkurat I telah memerintahkan menyebar uang untuk mengalihkan perhatian perampok, usaha ini tidak berhasil.
Setelah Amangkurat I mengeluarkan kutukan, barulah para perampok itu behenti. Mereka berjatuhan menggelepar karena tidak bisa berdiri.
Oohya! Baca juga ya: Kisah Ten Dudas, 10 Duda Penyintas Tsunami Aceh Membangun 200 Rumah Darurat Dibantu Posko Jenggala
Ketika Amangkurat I masih dalam pelarian ke arah barat, anaknya yang sakit di Imogiri meninggal dunia. Ibu si anak, yang merupakan istri Amangkurat I, kemudian diambil sebagai istri oleh Trunojoyo.
Dalam perjalanan, Amangkurat I juga jatuh sakit. Ia yang semula naik gajah, kemudian ditandu. Gajahnya ditinggal.
“Akhirnya Pangeran Puger diberitakan menemukan hewan berkulit tebal itu di tepi jalan, atau mungkin juga telah dirampasnya dari ayahnya,” tulis De Graaf.
Di Banyumas Amangkurat I beristirahat selama tiga hari sampai akhirnya meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tegal, di sebelah makam Tumenggung Danupoyo.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Runtuhnya Istana Mataram karya Dr HJ de Graaf (1987)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
oohya.republika@gmail.com