Lincak

Sultan Agung Membangun Dua Kompleks Makam untuk Dirinya, Mengapa Ia Membangun di Imogiri dan Membatalkan Giriloyo?

Imogiri menjadi kompleks makam raja-raja Mataram. Semula Sultan Agung membangun makam di Giriloyo, tetapi pamannya yang menjadi orang pertama mengisi makam itu, sehingga ia membangun lagi di Imogiri.

Kalah perang dengan Kompeni, Sultan Agung meminta pamannya, Panembahan Juminah, membangun kompleks makam di Bukit Giriloyo pada 1629-1630. Ternyata, orang pertama yang mengisi makam ini, bukan Sultan Agung.

Maka, Sultan Agung minta dibuatkan lagi kompleks makam di Imogiri, bukit yang berdekatan dengan Giriloyo. Di Imogiri inilah, Sultan Agung menjadi orang pertama yang dimakamkan pada Februari 1646.

Orang pertama yang dimakamkan di Giriloyo adalah Panembahan Juminah, yang meninggal pada saat kompleks makam di Giriloyo belum selesai dibangun. Atas perintah Sultan Agung, Panembahan Juminah dimakamkan di Giriloyo.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Permaisuri Meninggal, Amangkurat I Mengurung 43 Selir dan 350 Dayang tanpa Diberi Makan dan Minum Hingga Meninggal

Menurut Babad Pagedongan, Panembahan Juminah adalah anak ke-17 dari Panembahan Senopati, pendiri Mataram. Prabu Anyokokrowati, yang menjadi raja kedua Mataram, merupakan anak ke-10 dari Panembahan Senopati.

Sultan Agung merupakan anak pertama dari Prabu Anyokrowati. Jika Panembahan Senopati memiliki 22 anak, Anyokrowati memiliki 15 anak.

Cungkup makam Sultan Agung disiapkan meggunakan kayu wungle yang didatangkan dari Palembang. “Menurut keterangan, rumah makam tersebut masih baik pada 1917,” tulis HJ de Graaf menggambarkan kualitas kayu wungle.

Pada 15 September 1641, Residen Palembang menulis, Sultan Agung mengirim 300 orang untuk mengambil kayu itu. “Pada tahun-tahun kemudian, sering terlihat orang Jawa mengambil kayu dari Palembang khusus untuk pemakaman,” tulis De Graaf.

Setelah kompleks makam di Imogiri jadi, Sultan Agung sering tetirah di situ. Ada beberapa bangunan yang dibuat di kaki bukit yang digunakan untuk pesanggrahan. Babad Sengkala, kata De Graaf, menerangkan Raja berada di pesangrahan itu sekitar sebulan setiap kali berkunjung.

Oohya! Baca juga ya:

Pengalaman Seru Santri Jadi Peserta Kemah Bakti Harmoni Beragama II di Kiarapayung

Biasanya ada adu keterampilan tombak pada hari-hari tertentu, sehingga orang-orang datang untuk menyaksikan. Para penjual makanan dan minuman pun hadir di sana jika ada adu keterampilan tombak itu.

“Jadi, mungkin sekali, Raja beberapa kali singgah ke sana, baik untuk menghibur diri maupun untuk melihat kemajuan pekerjaan [maksudnya, pembangunan makam di atas bukit], ataupun untuk mempersiapkan diri menyambut datangnya ajal,” tulis De Graaf.

Raja meninggal di pendopo keraton. Saat itu Mataram sedang ada wabah penyakit, Sultan Agung juga jatuh sakit yang diduga juga keran wabah itu. Namun, Sultan Agung tidak bersedia meminum obat, sebab, ia sudah mendapat bisikan dari Nyi Roro Kidul bahwa ajalnya akan segera datang.

Nyi Roro Kidul memberikan bisikan pada 1644. Bisikannya menyatakan dua tahun lagi Sultan Agung akan meninggal dunia.

Selama sakit itu, Sultan Agung tetap membuat sjumlah peraturan. “Untuk mencegah perebutan tahta di antara Putra Mahkota dan Pangeran Alit,” tulis De Graaf.

Menjelang kematiannya, anak-anaknya dan semua pembesar kerajaan dikumpulkan di keraton. Semua gerbang dijaga, gudang senjata dijaga, meriam disiagakan.

Hal itu dilakukan oleh Sultan Agung untuk mencedah sesuatu yang tidak diinginkan. Tak lama kemudian, Sultan Agung pun meninggal dunia pada pertengahan Februari 1646.

Oohya! Baca juga ya:

Kisah Ten Dudas, 10 Duda Penyintas Tsunami Aceh Membangun 200 Rumah Darurat Dibantu Posko Jenggala

“Di bawah penjagaan ketat pengawal pribadi, Putra Mahkota diumumkan menadi Susuhunan Ingalaga Mataram. Semua tanpa kecuali menyampikan penghormatan kepadanya. Selanjutnya gerbang-gerbang dibuka kembali,” tulis De Graaf. Putra Mahkota telah menjadi Susuhunan Amangkurat I.

“Setelah gerbang-gerbang dibuka, jenazah Sultan Agung yang sudah selesai dishalatkan lalu dibawa ke Imogiri untuk dimakamkan. “Dengan berbagai upacara terlampau panjang dan pasti akan menjemukan Yang Mulia,” tulis De Graaf mengutip catatan utusan Kompeni Van Goens, mengenai upara pemakaman yang dihadiri oleh Yang Mulia Susuhunan Amangkurat I.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
Puncak Kekuasaan Mataram karya Dr HJ de Graaf (2002, edisi revisi)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
oohya.republika@gmail.com