Egek

Merdeka 79 Tahun, Kenapa Hak Masyarakat Pesisir Masih Terabaikan?

KIARA dan jaringan LSM bersama warga pesisir Demak dan warga Teluk Balikpapan mengadakan upacara Peringatan Proklamasi Kemerdekaan. Mengapa hak masyarakat pesisir masih terabaikan?

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) bergabung bersama jaringan masyarakat sipil dan masyarakat pesisir melakukan peringatan hari kemerdekaan pada Sabtu (17/8/2024). "KIARA bersama jaringan masyarakat sipil dan masyarakat Desa Timbulsloko, Demak, Jawa Tengah, dan masyarakat Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur, melakukan seremoni kemerdekaan Indonesia versi nelayan dan masyarakat pesisir,” kata Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati dalam siaran persnya, Sabtu (17/8/2024).

Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk teguran langsung kepada pemerintah untuk berbenah dan melakukan evaluasi orientasi pemerintah untuk tidak hanya mengutamakan investasi. Indonesia telah merdeka 79 tahun, tetapi masyarakat pesisir masih terabaikan.

“Tetapi harus melaksanakan mandat konstitusi untuk melindungi hak asasi manusia dan memenuhi hak-hak nelayan, perempuan nelayan, petambak garam, pembudidaya ikan, petani, buruh, masyarakat miskin kota dan masyarakat adat sebagai warga negara!" kata Susan.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Beda dari IKN, Warga Pesisir Demak Upacara di Genangan Rob

Susan mengatakan, saat ini semangat perjuangan untuk merdeka tersebut masih tetap dipertahankan oleh masyarakat pesisir. Ada nelayan, perempuan nelayan, masyarakat adat, petambak garam, pembudidaya ikan, awak kapal perikanan, petani, buruh, hingga rakyat miskin kota. Keberadaan mereka masih terabaikan.

Menurut Susan, masyarakat pesisir masih harus berjuang untuk merdeka dari berbagai kebijakan ekstraktif dan eksploitatif yang difasilitasi oleh negara kepada swasta dengan dalih peningkatan ekonomi lokal. Susan menyebutkan bahwa kondisi nelayan saat ini sedang dalam titik nadir.

Kebijakan ekstraktif dan eksploitatif baik yang tengah berjalan dan yang direncakan, tumpang tindih dengan ruang-ruang yang dikelola oleh masyarakat pesisir. "Kebijakan-kebijakan yang saat ini disusun bahkan telah dilegalkan, menjadi alat untuk merampas ruang kelola nelayan dan masyarakat pesisir lainnya,” ujar Susan.

Susan menyebut beberapa kebijakan yang menjadi alat untuk merampas ruang kelola nelayan tersebut. Antara lain liberalisasi pertambangan pasir laut dengan dalih pengelolaan hasil sedimentasi di laut, liberalisasi eksploitasi sumber daya perikanan dengan dalih penangkapan ikan terukur, perampasan tanah adat karena belum adanya UU yang spesifik melindungi masyarakat adat, hingga perampasan ruang pesisir, laut, dan pulau kecil dengan dalih integrasi tata ruang darat dan laut.

"Sudah 79 tahun Indonesia merdeka, akan tetapi selama 79 tahun tersebut pengakuan atas ruang hidup dan wilayah tangkap tradisional nelayan masih minim. Bahkan perempuan yang profesi sebagai nelayan masih sangat sangat minim diakui oleh negara. Ironinya lagi, sudah 79 tahun Indonesia merdeka akan tetapi pengakuan wilayah adat yang holistik mencakup darat dan laut masih sangat minim,” kata Susan.

Oohya! Baca juga ya:

Upacara Diadakan di IKN, Bagaimana Nasib Bendera Pusaka Merah Putih?

Menurut Susan, minimnya pengakuan tersebut secara langsung berpengaruh terhadap pelindungan dan pemenuhan hak-hak mereka. Nelayan, perempuan nelayan, serta masyarakat adat pesisir dan pulau-pulau kecil eharusnya adalah masyarakat yang berdaulat dan merdeka atas ruang hidupnya.

KIARA mencatat bahwa hingga 2024, telah terdapat 28 provinsi yang mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K). Dari 28 provinsi tersebut, hanya 14 provinsi yang mengalokasikan ruang pemukiman nelayan dengan total luas 1.238,46 ha.

Sedangkan pengakuan masyarakat hukum adat melalui alokasi ruang hanya terdapat di empat provinsi. Yaitu Aceh, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua Barat.

Per Agustus 2024, telah terdapat 14 provinsi yang telah menetapkan dan mengundangkan Perda tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) yang telah diintegrasikan dengan Perda RZWP-3-K. Dari 14 provinsi tersebut tidak ada yang memberikan alokasi ruang untuk masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.

"Minimnya pengakuan ruang untuk nelayan, masyarakat adat, serta masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil melalui kebijakan penataan ruang memperlihatkan bahwa saat ini ruang-ruang industri ekstraktif dan eksploitatif tengah dan telah dipersiapkan melalui kebijakan penataan ruang,” kata Susan.

Disisi lain, lanjut Susan, kebijakan tersebut akan melanggengkan perampasan ruang masyarakat adat dan komunitas lokal yang menyebabkan krisis ruang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Masyarakat pesisir dan pulau kecil menjadi terus terabaikan meski Indonesia sudah merdeka selama 79 tahun.

Oohya! Baca juga ya:

WR Supratman Girang, Lagu Indonesia Raya Diterima di Kongres Pemuda

Sehingga yang menjadi pertanyaan adalah apakah selama 79 tahun ini nelayan, perempuan nelayan dan masyarakat adat telah merdeka sepenuhnya dalam menentukan bentuk pengelolaan dan pemanfaatan ruang dan kekayaan alam yang ada didalamnya.

Ma Roejan