Kemarahan-Kemarahan Sukarno Menjelang Proklamasi Kemerdekaan
Selama dua hari sebelum hari Proklamasi Kemerdekaan adalah hari-hari yang menegangkan bagi Sukarno. Sukarno menyebutnya sebagai “dua hari yang memecahkan urat saraf”.
Oohya! Baca juga ya;
Sukarno Baca Ulang Proklamasi Kemerdekaan Setelah Para Mahasiswa Gagal Siarkan Proklamasi di Radio
Naskah Proklamasi Kemerdekaan tak Mengakomodasi Keinginan Sjahrir dan Para Pemuda
Tapi, ketegangan sudah dimulai sejak 14 Agustus 1945 sepulang dari Dallat, Vietnam. Sjahrir menemuinya dengan permintaan agar segera memproklamasikan kemerdekaan karena pada 14 Agustus itu Jepang sudah menyerah. Untuk menenangkan Sjahrir, Sukarno berjanji akan memprokaasmikan kemerdekaan pada 15 Agustus 1945.
Pukul 17.00, masaa pemuda sudah siap-siap di Jakarta. Begitu proklamasi dinyatakan, mereka siap dikerahkan merebut tempat-tempat vital, seperti stasiun kereta api, kantor berita, dan gedung Kenpeitai. Tapi menjelang pukul 18.00,Sukarno menyatakan penundaan proklamasi. Para pemuda kesal, marah.
Di belakang Sukarno, Sjahrir memanas-manasi para pemuda. Sukarni selalu berkonsultasi kepada Sjahrir untuk tiap langkah yang akan ia ambil. Di belakang Sukarno, Sjahrir menyebut Sukarno sebagai pengecut, sebagai kejepang-jepangan.
Pada 16 Agustus 1945 dini hari, Sukarni dan kawan-kawan mendatangi rumah Sukarno. Saat Sukarno di kamar sedang makan sahur pukul 03.00 dini hari, Sukarni masuk dan meminta Sukarno segera berpakian di bawah ancaman pedang. “Berpakaianlah Bung... Sudah tiba saatnya,” kata Sukarni.
Sukarno menahan marah, dan menjawab, “Ya. Sudah tiba saatnya untuk dibunuh.” Sukarno berbicara beberapa kalimat untuk mematahkan niat Sukarni dan kawan-kawan. “Darahku menggelegak pada waktu berbicara,” kata Sukarno.
Pada 15 Agustus 1945 malam, Sukarno sudah dibuat marah oleh para pemuda. Ia jadi obyek poyokan karena tak jadi memproklamasikan kemerdekaan. Wikana bahkan sempat menodongkan pisau ke Sukarno. “Revolusi berada di tangan kami sekarang dan kami memerintah Bung,”kata Wikana. “Kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, lalu....”
Wikana belum menyelesaikan kalimatnya, Sukarno sudah memotongnya. “Lalu apa?” Sukarno melompat dari kursi “dengan kemarahan yang menyala-nyala”. Setelah menegaskan tak akan tunduk pada kemauan para pemuda, Sukarno lalu menyodorkan lehernya. “Ini. Ini kudukku Boleh potong ... hayo. Boleh penggal kepalaku .. engkau boleh membunuhku.”
Para pemuda itu tentu kaget. Melihat situasi itu, Sukarno lalu memelankan suaranya, dan menyatakan akan memerdekakan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Pada 17 Agustus 1945 pagi, ketika massa sudah berkumpul dan Sukarno belum juga membacakan proklamasi, Dokter Muwardi meminta Sukarno untuk segera membacakannya. Di luar rumah, massa juga sudah berteriak meminta proklamasi. Hatta belum datang. Sukarno tidak mau membacakan proklamasi jika Hatta belum ada.
Muwardi terus mendesak. Sukarno jengkel. “Saya tidak akan membaca Proklamasi kalau tidak bersama Bung Hatta. Kalau Mas Muwardi tidak mau menunggu, silakan baca sendiri!” kata Sukarno, marah.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams
Mahasiswa ’45 Prapatan 10: Pengabdiannya karya Soejono Martosewojo
Sjahrir, Pean Besar Bung Kecil hasil sunting Arif Zulkifli dkk