Mengapa Diponegoro Menyebut Bahasa Melayu Sebagai Bahasa Ayam?
HW Daendels tak pernah menjadi pejabat VOC. Ia ditunjuk menjadi Gubernur Jenderal Hindia-Belanda ketika Belanda dikuasai Prancis. Ia tak mengerti bahasa Jawa, sehingga berkomunikasi dengan bangsawan Jawa menggunakan bahasa Melayu. Maka, selama pemerintahannya pada 1808-1811, bahasa Melayu sebagai bahasa administratif menjadi topik percakapan di kalangan bangsawan Keraton Yogyakarta.
Oohya! Baca juga ya:
Anekdot Diponegoro, Diponegoro Pukul Punakawan Gara-gara Kentang, Ada Apa?
Diberhentikan dari Jabatan, Para Bupati Bersatu Barisan dengan Diponegoro dalam Perang Jawa
Setelah Menginjak Biji Kopi di Batavia, Tentara Inggris Seret Sultan Yogyakarta di Depan Diponegoro
Diponegoro jengah dengan hal ini. Ia merasa tersinggung karena orang-orang Belanda berbicara dengan bangsawan Jawa menggunakan bahasa Melayu-pasar, bukan bahasa Jawa halus. Menggunakan bahasa kasar dalam bahasa Melayu, membuat Diponegoro menganggap orang-orang Belanda itu menggunakan bahasa ayam, yang tak layak didengar oleh Raja Jawa.
“Tampaknya bahwa Diponegoro sedikit banyak bisa berbahasa Melayu, gtetapi rupanya enggan menggunakannya di hadapan orang Eropa karena selain terasa menjijikkan baginya, dia juga tidak begitu fasih dan tidak suka dengan irama belang bentong bahasa ‘Melayu pasar’ itu,” tulis Peter Carey dalam catatan kakinya di buku Percakapan dengan Diponegoro.
Awalnya, Diponegoro juga tidak menyukai John Crawfurd yang diangkat Raffles menjadi Residen Yogyakarta karena ia juga menggunakan bahasa Melayu-pasar. Tapi rupanya Crawfurd segera menyesuaikan diri. Ia belajar bahasa Jawa selama enam bulan, dan kemudian berkomunikasi dengan Sultan Hamengbubuwono III (ayah Diponegoro) dan dengan Diponegoro menggunakan bahasa Jawa.
Maka, selama Perang Jawa, orang-orang Belanda yang ditangkap dipaksa Diponegoro belajar bahasa Jawa.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan: Percakapan dengan Diponegoro karya Peter Carey.