Jalan ke Baduy. Masyarakat Baduy Mengutamakan Persuasi, Bukan Hukuman
Masyarakat adat Baduy mengedepankan harmoni sosial. Maka, penegakan adat tidak dilakukan dengan cara mengutamakan menghukum, melainkan persuasi. Yang berubat salah akan diingatkan, jika menyadari kesalahan, maka kehidupan berjalan normal. Tapi jika setelah diingatkan terus berbuat salah, maka ia akan diawasi selama tiga tahun. “Jika dalam tiga tahun itu tetap berbuat salah, maka ia akan diusir dari Baduy Dalam,” jelas Sadim, warga Baduy Dalam dari Kampung Cibeo, Ahad (28/5/2023).
Oohya! Baca juga ya:
Jalan ke Baduy, Mahasiswi Bandung Terkesan dengan Kesederhanaan Masyarakat Baduy
Jalan ke Baduy, Nemperbincangkan Sapri Si Ganteng Kalem Bak Artis Sinetron dari Baduy Dalam
Untuk menggambarkan pelaksanaan adat, masyarakat Baduy memiliki falsafah hidup: ulah cicing di parangsa, kudu cicing di rumasa, rumasa cicing di adat. Falsafah ini mengajarkan agar tidak menjadi orang yang tidak sadar diri, melainkan harus menjadi orang yang sadar diri, yaitu sadar diri hidup untuk mengagungkan adat.
Untuk bisa mengagungkan adat, kata Emen Sarta, warga Baduy Luar dari Kampung Ciboleger, maka masyarakat Baduy perlu mengamalkan falsafah: lonjor teu bisa dipotong, pendek teu bisa disambung, kurang teu bisa ditambah. Falsafah ini memberitahu bahwa sesuatu yang sudah dijalankan sejak dulu, tidak perlu diubah: Panjang tak bisa dipotong, pendek tak bisa disambung, kurang tak bisa ditambah.
Kendati begitu, masyarakat luar tetap saja memiliki informasi miring mengenai masyarakat Baduy. Hal-hal miring itulah yang ditanyakan oleh Kamilah Wulan Nurfitri, mahasiswi Ilmu Keolahragaan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung yang juga anggota Perhimpunan Mahasiswa Bandung (PMB).
Misalnya, ia bertanya soal hal yang membuat masyarakat Baduy tersinggung sehingga orang luar yang membuat masyarakat Baduy tersinggung bakal celaka. Jaro Tangtu (pejabat yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan adat) Kampung Cibeo, Sarmi, menegaskan tak ada hal yang membuat masyarakat Baduy tersinggung. Pengunjung merupakan tamu yang perlu dimuliakan.
Jika ada pengunjung yang berbuat salah, yang diingatkan adalah warga Baduy yang mendampingi pengunjung itu. Maka, sudah tugas pendamping pengunjung untuk juga mengingatkan pengunjung agar tidak berbuat hal-hal yang melanggar adat.
Meski tak mengenal pendidikan sekolah, persoalan-persoalan adat bisa dengan baik ditularkan kepada generasi mereka. Menjadi tanggung jawab orang tua untuk mengenalkan adat kepada anak di bawah usia 10 tahun. Memasuki usia 11 tahun, pendidikan adat diserahkan kepada jaro.
“Rasa lelah dan shock selama jalan kaki menempuh perjalanan ke Cibeo memang akan dirasakan oleh orang yang pertama kali mengunjungi Baduy, tapi semua terbayar dengan ilmu-ilmu aru yang luar biasa yang kita dapatkan menjadi pengalaman yang sangat mengesankan, sehingga bisa kita ceritakan dengan bangga ke orang-orang,” tutur Kamilah.
Priyantono Oemar